Umat Islam masih dalam suasana perayaan idul fitri. Hakikat dari idul fitri adalah kembali kepada kesucian setelah sebulan lamanya berpuasa dan disempurnakan membayar zakat fitrah. Orang yang kembali kepada kesucian merupakan cerminan pribadi yang bertakwa sebagai tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa.
Pada saat idul fitri, umat Islam saling bermaafan terhadap semua kesalahan. Ibaratnya  kembali ke titik nol, seumpama bayi yang baru dilahirkan ke dunia. Suasana terasa damai dan bahagia. Berharap kehidupan lebih baik di masa yang akan datang dalam suasana kebersamaan diliputi ketentraman.
Walau demikian, pada kenyatannya, menjelang idul fitri masih ada sebagian warga yang senang menyebar hoax bahkan fitnah melalui media sosial. Salah satunya contohnya adalah "gara-gara" Prof. Quraish Shihab yang oleh sebagian orang "dituduh" sebagai pendukung syi'ah ditunjuk menjadi khatib salat Id di masjid istiqlal, maka Jemaah pun sepi.
Berita dan foto pun beredar di media sosial seolah hal tersebut benar adanya. Bagi orang yang teranjur percaya kepada penyebar berita atau terlanjur tidak suka terhadap sosok yang diberitakan, maka dia tidak memiliki filter lagi, langsung saja mempercayainya. Bahkan ikut-ikutan menyebarkan berita isinya tidak dapat dipertanggung jawabkan tersebut.
Saya sendiri penasaran dengan foto berita tersebut dan mengecek rekaman video salat Id di Masjid Istiqlal. Dan ternyata apa yang muncul di youtube tidak seperti berita yang disebarkan di media sosial. Salat Id di masjid Istiqlal dihadiri presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, menteri-menteri, perwakilan negara asing, serta ribuan jamaah. Foto yang disebarkan ternyata bukan foto saat salat id, tetapi foto ceramah imam besar masjid Istiqlal Prof. Nazaruddin Syamsudin yang sedang berceramah pada malam takbiran.
Fakta pun diputarbalikkan. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini idul fitri pun, hoax dan fitnah menyebar. Masyarakat harus cerdas, kritis, dan literat ketika menerima berita-berita yang tendesius dan provokatif. Apalagi yang berkaitan dengan isu SARA, karena hal tersebut sangat sensitif.
Dampak dari pilpres 2014, pilkada DKI 2017, perbedaan pandangan antar tokoh politik dan tokoh agama telah menyuburkan hoax dan fitnah melalui media sosial. Semua saling serang, semua saling balas. Suasana menjadi tidak kondusif. Masyarakat terpolarisasi, pendukung antar kubu saling curiga, saling mencari kekurangan dan kesalahan pihak lawan. Hoax dan fitnah telah mengancam persatuan, kesatuan, dan kebhinekaan NKRI.
Jika fitnah dan hoax masih tersebar pada saat momen kembali kepada kesucian, tentunya menodai kesuciannya. Kasus di atas hanyalah sala satu contoh saja. Di tengah-tengah masyarakat banyak berseliweran hoax dan fitnah lainnya. Media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp menjadi media yang banyak digunakan untuk menyebar hoax. Ketika manusia banyak yang bersumbu pendek, fanatisme dan kebencian yang mendalam, ketika manusia malas cek dan ricek berita, ketika jari-jari tangan lebih cepat bergerak daripada akal sehat, maka hoax dan fitnah akan cepat menyebar.
Momentum idul fitri selain digunakan untuk saling memaafkan, juga seharusnya digunakan untuk rekonsiliasi antar pihak yang berseberangan. Masing-masing pihak harus legowo dan menekan ego agar persatuan dan kesatuan bangsa dapat terus terjaga. Anak-anak bangsa harus berguru kepada para pendiri bangsa yang walau beda pendapat tetapi saling menghormati.
Kembali kepada fitrah, jauhi fitnah tampaknya menjadi tema yang sangat relevan dikaitkan dengan idul fitri saat ini. Â Agar kebersamaan kembali terjalin, agar suasana kebangsaan kembali kondusif. Jangan menonjolkan perbedaan, tetapi cari persamaan, supaya ada titik temu.
Pertemuan antara GNPF-MUI dengan presiden Joko Widodo di istana merdeka pada saat idul fitri (25/06/2017) menjadi momen yang baik di hari baik untuk meluruskan berbagai prasangka kurang tepat yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sedikit menurunkan tensi yang lumayan panas walau Pilkada DKI Jakarta sudah usai dan kasus penistaan agama sudah diproses.