Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tolong Hidupkan Kembali SPG, SGO, dan PGA Bapak Mendikbud...

16 Juni 2017   15:24 Diperbarui: 16 Juni 2017   19:57 6598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Usul saya tersebut mungkin terkesan utofis, ketinggalan jaman, karena Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Olah Raga (SGO), dan PGA (Pendidikan Guru Agama) telah dihapus sejak tahun 1990-an. SPG, SGO, dan PGA adalah lembaga-lembaga pendidikan (setara SMA) bagi para calon guru. Lulusan-lulusannya pada umumnya langsung menjadi guru, tetapi ada juga yang melanjutkan ke Diploma (D-II) UT, dan ke S-1 jurusan kependidikan.

Mereka yang masuk ke SPG, SGO, dan PGA adalah orang-orang yang telah sejak awal bercita-cita menjadi guru, siap mengabdikan diri untuk dunia pendidikan, serta tahun konsekuensinya menjadi seorang guru, termasuk rendahnya gaji yang diterima, dan harus mau hidup sederhana. Walau demikian, mereka mau untuk mau masuk ke SPG, SGO, atau PGA, karena dilandasi niat yang kuat dan rasa cinta terhadap pendidikan. Para siswa SPG, SGO, dan PGA adalah siswa-siswa terpilih. Ada seleksinya, mulai dari seleksi administratif, akademik, hingga seleksi fisik. Bahkan bentuk kaki dan tinggi badan turut menjadi pertimbangan seorang pendaftar lolos menjadi siswa.

Saya sendiri bukanlah lulusan dari salah satu sekolah tersebut, saya seorang lulusan SMU. tetapi saya suka berdisusi dengan guru lulusannya. Di SPG, SGO, atau PGA, para siswa benar-benar diajari dan dididik menjadi calon guru. Porsi ilmu pedagodik (mendidik anak usia sekolah) begitu besar, sekitar 70%, didaktik dan metodik pun benar-benar diasah. Cara berpakaian, cara berpenampilan, cara berbicara di depan murid, cara memegang kapur, cara menulis di papan tulis, sampai cara menghapus tulisan di papan tulis pun diajarkan.

Praktek mengajar dijalani selama enam sampai dengan sembilan bulan. Dengan demikian, jiwa dan kemampuan mereka sebagai calon guru terasah. Mereka pun ikut kegiatan ekstrakurikuler yang diminati seperti olah raga, seni, kepramukaan. Oleh karena itu, tidak heran ketika mereka menjadi guru, mereka aktif membimbing kegiatan ekstrakurikuler dan terampil dalam membimbing siswa membuat benda-benda kerajinan.

Entah apa alasannya, SPG, SGO, dan PGA dihapus oleh pemerintah. Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) pun diubah menjadi universitas. Akibatnya ruh pendidikan keguruan menjadi hilang. Tidak ada seleksi khusus untuk mahasiswa calon guru. Yang ada hanya seleksi akademik melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Apalagi di Perguruan Tinggi swasta (PTS), hampir bisa dikatakan tidak ada seleksi, karena toh mereka yang butuh mahasiswa.

Guru-guru yang bukan lulusan SPG, SGO, atau PGA mungkin akan protes, karena walau bukan lulusan dari salah satu sekolah tersebut, mereka juga dapat menjadi guru yang profesional. Bisa saja demikian, tetapi mereka tidak mendapatkan pengalaman sebagai siswa sekolah yang menjadi cikal bakal calon guru. Tentunya dari sisi penghayatan terhadap tugas tidak akan sama dengan yang pernah mengenyam pendidikan di SPG, SGO, atau PGA.

Saya ingat waktu saya SD diajar oleh guru lulusan SPG. Tulisannya begitu rapi, kalau mau menulis di papan tulis, maka papan tulisnya pun digarisi terlebih dahulu supaya tulisannya rapi dan lurus. Terus tegak bersambungnya rapi sekali, dan enak dibaca. Bagaimana dengan tulisan guru saat ini?

Saya juga punya guru ngaji di madrasah, yang juga seorang guru disekolah, lulusan PGA, ilmu agamanya luas, bisa membaca kitab kuning, karena selian sekolah di PGA juga mengaji di pesantren. Beliau juga menjadi pemuka agama di masyarakat yang disegani, dan memiliki wibawa yang tinggi. Bagaimana dengan sarjana agama atau sarjana pendidikan Islam saat ini?

Sekarang calon-calon guru didik di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Bahkan sarjana non-kependidikan pun bisa menjadi guru karena diatur oleh UU Guru dan Dosen. Profesi guru kini makin diburu, karena seiring dengan adanya sertifikasi, kesejahteraan guru pun kian meningkat.  Walau kesejahteraannya sudah meningkat, profesionalisme banyak yang belum benar-benar meningkat. Studi Bank Dunia tahun 2010 menyimpulkan bahwa sertifikasi guru belum berdampak terhadap peningkatan profesionalismenya.

Bagi saya, guru adalah pekerjaan yang bukan hanya membutuhkan profesionalisme, tapi juga membutuhkan panggilan nurani, panggilan jiwa, dan kecintaan terhadap profesi. Ketika ada siswa yang nakal, sulit diatur, sulit menerima pelajaran, disamping faktor dari siswanya sendiri, pengaruh keluarga, dan lingkungan, jangan-jangan gurunya dalam melaksanakan tugas tidak disertai dengan cinta dan kasih sayang, asal melakukan tugas, dan kurang penghatan terhadap tugasnya. Pak Mendikbud, tolong hidupkan kembali SPG, SGO, dan PGA untuk mencetak guru-guru yang dedikatif dan profesional.

PAK MENDIKBUD, TOLONG HIDUPKAN KEMBALI SPG, SGO DAN PGA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun