RAMADAN, HAL SAKRAL DALAM BAYANG-BAYANG KOMERSIAL
Oleh:
IDRIS APANDI
Bulan Ramadan adalah bulan yang suci dan mulia, bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Pada bulan ini, umat Islam diwajibkan berpuasa sebulan lamanya. Bulan ini adalah bulan obral pahala dari Allah Swt. Setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, sedangkan amal buruk hanya dicatat satu keburukan, dan itu pun dicatat kalau sudah secara nyata dilakukan. Saking mulianya bulan Ramadan, tidurnya orang berpuasa bisa bernilai ibadah.
Daripada melakukan hal-hal yang sia-sia dan merusak ibadah puasanya. Walau demikian, alangkah lebih baik justru di bulan Ramadan tidur dikurangi dan diisi dengan beragam ibadah, agar suasana Ramadan yang datang setahun sekali benar-benar bermakna dan bermanfaat. Tidak ada jaminan tahun berikutnya kita mendapatkan kesempatan lagi merasakan bulan Ramadan.
Dibalik segala kesakralan bulan Ramadan, seiring dengan perkembangan zaman, dihadapkan pada tantangan komersialisasi pada berbagai hal, utamanya berkaitan dengan yang bersifat fisik. Mulai dari makanan, minuman, suplemen, obat-obatan, alat-alat rumah tangga, sarung, pakaian, HP, sampai assesoris dikaitkan dengan Ramadan dan idul fitri.
Momen Ramadan, di satu sisi digunakan untuk berlomba-lomba mengumpulkan pahala, sedangkan bagi pedagang dan pengusaha, digunakan untuk meraup laba sebesar-besarnya. Mereka merayu pembeli dengan tawaran diskon yang menggiurkan. Akibatnya, susbtansi Ramadan kadang kehilangan makna. Tertutup oleh hal-hal yang bersifat simbolistik bahkan konsumtif.
Para pengusaha tidak segan-segan menjadi sponsor acara-acara Ramadan, khususnya yang banyak digemari oleh penonton. Belum lagi berbagai atribut yang digunakan pengisi acara, mulai dari baju koko, hijab, kerudung, sampai make up semuanya adalah produk sponsor. Dengan kata lain, mereka menjadi bintang iklan produk-produk sponsor. Dan yang menjadi targetnya tentunya adalah para penonton acara agar tertarik membeli produk yang dipakai pengisi acara.
Mendekati akhir Ramadan, tawaran-tawaran diskon menarik semakin banyak dan menggoda calon pembeli, karena para pedagang dan pengusaha tahu kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat untuk mempesiapkan lebaran. Mal-mal dan pasar semakin kebanjiran pembeli, sedangkan masjid semakin jumlah jamaahnya semakin berkurang. Baris (shaf) salat tarawih semakin “maju”, bahkan hanya tersisa satu shaf saja.
Puasa adalah medan perjuangan melawan hawa nafsu, termasuk nafsu belanja. Bulan Ramadan seharusnya bukan menjadi beban, tetapi realitanya adalah beban. Orang tua memikirkan kebutuhan lebaran anaknya, seorang anak berpikir untuk memberikan “THR” kepada orang tua dan saudara-saudaranya, pengusaha memberikan THR kepada para pegawainya, dan kepala kantor memikirkan THR kepada anak-anak buahnya.
Minggu terakhir yang seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk kejar setoran amal kebaikan, justru digunakan untuk kejar setoran kebutuhan lebaran. Pada dasarnya adalah manusiawi jika seseorang ingin berpenampilan menarik dan berpakaian serba baru pada saat lebaran. Hal itu tidak dilarang asal tidak memaksakan diri dan tidak berlebihan.