Menulis adalah mengukir jejak sejarah, karena dengan menulis dia meninggalkan warisan pemikiran kepada generasi berikutnya. Penulisnya sudah tiada, tetapi pemikirannya tetap lestari dan abadi. Menulis adalah ibadah, karena menulis bisa menjadi sarana untuk amar makruf nahyi munkar,mengajak orang kepada kabaikan, dan melarang kepada keburukan.
Beragam makna tersebut bagi Saya menjadi bahan renungan bahwa menulis merupakan aktivitas yang unik dan memiliki beragam tujuan. Menulis sebenarnya merupakan aktivitas yang sangat mendasar. Sejak kecil seorang anak diperkenalkan huruf, lalu belajar membaca, dan berikutnya belajar menulis kata, lalu merangkai menjadi kalimat, kemudian menjadi sebuah paragraf, sampai akhirnya menjadi sebuah karangan. Hal tersebut tentunya memerlukan proses, perlu dilakukan secara bertahap.
Jika ada orang ada yang mengatakan tidak bisa menulis, Saya kira itu tidak sepenuhnya benar, karena dia minimal menulis nama lengkap atau alamat rumahnya. Hanya yang dimaksud oleh dia adalah tidak dapat menulis dalam konteks yang lebih luas, yaitu menulis sebuah artikel atau buku.
“Buta huruf” zaman sekarang mungkin sudah bukan lagi diartikan tidak dapat menulis kata atau kalimat pendek, tetapi belum dapat menulis artikel atau buku. Jika demikian, maka Saya kita kira banyak kalangan berpendidikan memiliki tugas untuk membebaskan dirinya dari “buta huruf”, menjadi manusia yang literat dan terampil menulis.
Apakah setiap orang berpendidikan harus menjadi penulis dalam artian sebagai profesi? Tentu juga tidak, karena semua punya passion dan pilihan di bidang masing-masing. Walau demikian, alangkah indahnya jika setiap pekerjaan atau profesi apapun dilengkapi dengan kemampuan menulis karena dengan menulis, dia bisa menyebarkan ilmu dan pengalamannya ke khalayak luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H