Seiring dengan implementasi kurikulum 2013, diharapkan adanya perubahan paradigma pada pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran yang pada awalnya berpusat pada para guru (teacher centered) berubah menjadi berpusat pada siswa (student centered).Guru diharapkan lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan materi pelajaran.
Penerapan pendekatan saintifik (5M) yang meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan diharapkan juga mampu mengubah iklim pembelajaran menjadi lebih aktif, kolaboratif, dan partisipatif, serta mampu merangsang mampu merangsang kemampuan berpikir kritis dan analitis siswa, bahkan sampai membuat siswa menghasilkan sebuah karya. Dengan kata lain, pembelajaran diharapkan berada pada level yang lebih tinggi baik pada aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Penerapan beberapa model pembelajaran seperti pembelajaran berbasis proyek (project based learning),pembelajaran berbasis masalah (problem based learning),pembelajaran dengan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving),menemukan (discovery/ inquiry) menjadi peluang bagi guru untuk menerapkan kegiatan pembelajaran pada level HOTS (Higher Order Thinking Skill).Tinggal bergantung kepada kemampuan guru dalam merencang dan mengimplementasikannya pada pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran pun diharapkan didesain secara kolaboratif untuk melatih kerjasama, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berargumentasi, serta kemampuan mengendalikan emosi. Dengan demikian, disamping belajar materi pelajaran, siswa pun diberikan penanaman pendidikan karakter dan literasi sebagaimana yang saat ini diamanatkan oleh Kemdikbud dimana kedua hal tersebut harus diintegrasikan pada kegiatan pembelajaran.
Pada prakteknya, penerapan pembelajaran HOTS bukan hal yang mudah dilaksanakan oleh guru. Disamping guru harus benar-benar menguasai materi dan strategi pembelajaran, guru pun dihadapkan pada tantangan dengan lingkungan dan intake siswa yang diajarnya. Kadang guru sudah merasa berbuat maksimal agar kegiatan pembelajaran menarik, tetapi respon para siswa tetap saja dingin, dan relatif pasif. Kegiatan pembelajaran masih berkutat pada duduk, dengar, catat, dan hafal (DDCH).
Saat ini sedang ramai dibicarakan tentang penulisan soal HOTS.Guru diharapkan mampu menyusun soal-soal HOTS agar siswa tidak hanya menjawab pada level C-1 (mengetahui), C-2 (memahami), dan C-3 (menerapkan), tetapi juga pada level C-4 (sintesis/ analisis), C-5 (evaluasi), dan C-6 (berkreasi). Untuk mewujudkan hal tersebut, pada penyegaran tim pengembang K-13 pun disampaikan atau disampaikan materi tentang soal-soal HOTS. Tujuannya disamping untuk meningkatkan kualitas soal, juga untuk membiasakan siswa mengerjakan soal standar olimpiade internasional.
Saya berpendapat bahwa menulis soal-soal HOTS pada dasarnya adalah hal yang baik, tetapi hal ini harus diawali dengan pembelajaran yang HOTS juga, karena akan terasa ganjil mana kala pembelajarannya biasa-biasanya saja, tetapi guru ujug-ujug memberikan soal-soal HOTS pada saat penilaian hasil belajar siswa. Dengan demikian, penilaian HOTS harus diawali atau didasari oleh pembelajaran yang HOTS.
Kemampuan guru dalam menyusun skenario pembelajaran dan penilaian HOTS harus sama-sama ditingkatkan. Forum ilmiah seperti diklat, workshop, atau kegiatan di KKG/MGMP menjadi sarana yang sangat strategis untuk mewujudkannya. Pada kegiatan tersebut disamping para guru mendapatkan wawasan baru dari pakar, juga dapat berdiskusi, sekaligus praktek menerapkan pembelajaran dan penilaian HOTS.
Di atas Saya sudah menguraikan beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mewujudkan HOTS, sedangkan pada aspek penilaian, pada dasarnya setiap bentuk soal pun seperti Pilihan Ganda (PG) dan uraian pun dapat digunakan untuk menilai pada aspek HOTS dengan catatan guru mampu menyusunnya dengan baik. Baik pada soal PG maupun uraian, bukan hanya ditanyakan tentang fakta, konsep, prinsip, atau prosedur, tetapi juga dapat kemampuan berpikir secara analitis.
Soal-soal HOTS bukan berarti soal yang sulit, redaksinya panjang dan berbelit-belit sehingga banyak membuang banyak waktu membacanya dan sekaligus memusingkan siswa, tetapi soal tersebut disusun secara proporsional dan sistematis untuk mengukur Indikator Ketercapaian Kompetensi (IKK) secara efektif serta memiliki kedalaman sehingga siswa pun terangsang untuk menjawab bukan hanya “menghitung kancing” atau menjawab secara asal-asalan. Jawaban soal uraian disamping tertutup juga dapat bersifat terbuka agar siswa mampu mengonstruksi jawabannya dengan bebas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H