Ketiga, masih rendahnya dukungan berbagai pihak terkait terhadap pengembangan budaya literasi.Akibatnya, pelaksanaan kegiatan literasi di sekolah terseok-terseok, dan tidak berjalan dengan optimal. Kegiatan literasi dianggap menambah pekerjaan guru yang sudah padat. Anggapan tersebut muncul karena kegiatan literasi diarahkan kepada teknis administratif, dan prosedural. Guru harus membuat berbagai administrasi dalam kegiatan literasi, sementara hal yang bersifat mendasar, yaitu menumbuhkan kebiasaan membaca kepada siswa kurang tersentuh. Akibatnya, kegiatan literasi yang dilaksanakan seolah tanpa ruh, penuh dengan seremonial dan formalitas.
Berdasarkan kepada beberapa hal tersebut di atas, maka perlu ada langkah-langkah yang dilakukan sebagai solusi mengatasi masalah tersebut. (1) pengadaan dan melengkapi sarana, dan menata lingkungan perpustakaan, (2) menambah koleksi buku-buku perpustakaan, utamanya buku-buku fiksi, (3) pelatihan bagi staf perpustakaan, (4) adanya sosialisasi gerakan literasi kepada semua warga sekolah (Kepala Sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa) orang tua, dan komite sekolah.
Untuk mendukung penguatan GLS pada jenjang SD, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, pertama, secara fisik, lingkungan sekolah kondusif menjadi “sekolah ramah literasi”. Misalnya dengan tersedianya perpustakaan, sudut baca, mading, dan sebagainya. Kedua, lingkungan sosial yang mendukung implementasi GLS. Adanya budaya suportif dan apresiatif terhadap para pelaku GLS dan prestasi yang dicapai oleh siswa. Dan ketiga, semua warga sekolah mendukung implementasi GLS. Dengan demikian maka, akan terjadi sinergi dan kerjasama yang efektif dalam mewujudkan manusia Indonesia yang literat.
PENGUATAN GERAKAN LITERASI PADA JENJANG SEKOLAH DASAR
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H