Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lima Pelajaran dari Kasus Kultwit Gus Mus

26 November 2016   23:19 Diperbarui: 27 November 2016   10:20 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana aksi unjuk rasa tanggal 2 Desember 2016 menjadi perbincangan di media massa dan media sosial. Perdebatan begitu sengit, aparat kepolisian jauh-jauh hari mengingatkan agar pengunjuk rasa shalat jumat di mesjid, jangan di jalan karena akan mengganggu kepentingan umum, sedangkan para ulama dan organisasi Islam disibukkan dengan “fatwa” tentang hukum shalat Jumat di jalan.

Perbedaan pendapat diantara tokoh-tokoh agama dan masyarakat pun mengerucut, antara pro dan kontra sampai akhirnya muncullah hinaan di Twitter terhadap terhadap Kyai Mustafa Bisri, seorang kyai kharismatik, pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin Rembang Jawa Tengah oleh salah seorang followernya bernama Pandu Wijaya. Hinaan tersebut menanggapi kultwit Gus Mus tanggal 23 November 2016 Pukul 16.46 WIB yang berpendapat bahwa shalat Jumat di jalan raya akan menjadi sebuah bid’ah besar. Dunia  Islam pasti heran.

Pandu Wijaya seorang pegawai PT Adhi Karya, membalas twit Gus Mus tersebut dengan kata-kata yang tidak sopan. Padahal Gus Mus adalah sosok yang sangat kharismatik dan sangat dihormati. Akibatnya, Komisaris PT Adhi Karya Fadjroel Rahman meminta maaf kepada Gus Mus. Merasa dirugikan oleh perilaku tidak terpuji salah satu karyawannya tersebut, PT Adhi Kharya memberikan sanksi Surat Peringatan  3 kepadanya.

Gus Mus menanggapi permintaan maaf dari Fadjroel. Beliau menyampaikan bahwa Beliau telah memaafkan Pandu sambil memaklumi usianya yang masih muda, emosinya yang kurang terkontrol membuatnya menggunakan kata “khusus” di ruang publik, dan berpesan agar yang bersangkutan tidak dipecat dari perusahaannya.

Ditemani ibunya, Pandu pun memohon maaf dan menyampaikan penyesalannya karena telah menghina Gus Mus di Twitter. Dengan penuh persahabatan dan kekeluargaan, Gus Mus menerima kedatangan Pandu. Beliau menyampaikan bahwa dirinya telah memaafkannya sebelum dia datang ke rumahnya.

Seperti orang tua kepada anak, Gus Mus pun menasehati Pandu, dan memberikan nomor HP-nya. Dengan bijak, Beliau berkata kepada Pandu: “Kalau kamu ingin marah atau berkata-kata kasar padaku, tinggal WA. Jadi orang lain tidak ada yang tahu."Saya yakin, Pandu tidak akan berani mengulangi perbuatan tidak terpujinya tersebut. Yang ada dalam hatinya tentunya malu sekaligus kagum terhadap kemuliaan akhlak Gus Mus. Selain Pandu, sebenarnya ada tiga pemuda lain yang sowanmeminta maaf kepada Gus Mus atas cuitannya di Twitter yaitu, Bahtiar (25) yang berasal dari Tegal, Hasan asal Klender, Wira yang berasal dari Subang.

Sikap Gus Mus yang bijak, tenang, dan pemaaf menjadi oase di tengah panasnya perang opini di media sosial. Pada beberapa kasus, kita dengan mudah ada pihak yang melaporkan pihak yang lain ke aparat kepolisian gara-gara merasa terhina, dilecehkan, dan dicemarkan nama baiknya di media sosial, atau melapor atas delik perbuatan tidak menyenangkan.

Gus Mus bisa saja melakukan hal tersebut, tetapi karena kemuliaan akhlaknya, Beliau lebih memilih memaafkan, daripada memperpanjang masalah. Karakter inilah yang patut ditiru oleh para elit dan anak-anak bangsa ini di tengah tegangnya kondisi politik dan panasnya perang opini di media sosial. Islam memang mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, dan kita pun butuh sosok negarawan yang lebih menggunakan nuraninya daripada emosinya.

Pasca Pilpres 2014, perang opini dan saling sindir masih terjadi antara para pendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Hal ini bertambah panas ketika muncul dugaan penistaan agama oleh Ahok dan berlanjut aksi unjuk rasa Bela Islam tanggal 4 November 2016. Pasca Ahok jadi tersangka pun, perang opini justru semakin menjadi-jadi. Bangsa Indonesia sudah banyak kehabisan energi hanya untuk memperdebatkan kasus Ahok.

Dari kasus di atas, ada  beberapa pelajaran yang Saya dapatkan, yaitu: pertama, jadilah pemaaf,karena maaf dapat mendamaikan jiwa, meredam dendam, merajut kembali tali silaturahmi, menguatkan kembali tali persahabatan, dan mengokohkan kembali suasana kekeluargaan. Seorang pemaaf adalah seorang pemberani dan seorang yang berbudi pekerti luhur.

Kedua, berani memohon maaf.Keberanian Pandu Wijaya dan beberapa orang lainnya memohon maaf kepada Gus Mus patut diacungi jempol. Banyak orang yang berbuat salah tapi tidak mau memohon maaf. akibat egonya, justru yang muncul adalah pembelaan diri dan pembenaran terhadap kesalahan yang telah dilakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun