Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lima Pelajaran dari Kasus Kultwit Gus Mus

26 November 2016   23:19 Diperbarui: 27 November 2016   10:20 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Mus menerima Pandi Wijaya beserta ibunya yang memohon maaf atas hinaannya kepada Gus Mus di Twitter. (Foto : news.detik.com)

Ketiga, pentingnya menjaga lisan.Dalam komunikasi di media sosial, jari tangan adalah representasi dari lisan kita. Jari-jari tangan kita dengan mudah bisa menuliskan apa saja, membagikan berita apa saja di media sosial. Oleh karena itu, sebelum menulis atau membagikan sebuah berita, pertimbangkan secara masak, jangan sampai menyesal kemudian. Sudah banyak contoh kasus saling lapor ke polisi bahkan kekerasan gara-gara beda pendapat dan salingbullydi media sosial.

Ada peribahasa mengatakan“mulutmu harimaumu”.Artinya, apa yang ucapkan akan berdampak kepada yang mengucapkannya. Oleh karena itu, berhati-hatilah sebelum berbicara, karena ucapan yang telah meluncur sulit untuk ditarik kembali. Bak anak panah, bisa menyakiti hati orang lain.

Keempat, menjaga emosi.Perdebatan di media sosial tidak dapat dipungkiri suka memancing emosi. Saling serang dan saling bantah, sama-sama tidak mau kalah, sama-sama merasa benar, dan sama-sama mempertahankan ego masing-masing. rasanya sebuah aib dan malu kalau sampai kalah debat di media sosial. Akhirnya kalimat-kalimat yang meluncur tidak terkontrol. Diwarnai kata-kata kotor dan sarkastis.

Jika ditelaah menggunakan kepala dingin, debat di media sosial, ibarat dua orang petinju yang bertinju di dalam ring dan ditonton banyak orang. Ketika petinju aling balas pukulan, para penonton bersorak-sorai, semakin senang dengan jalannya pertandingan. Mending kalau bertinju, baik yang menang maupun yang kalah mendapatkan imbalan. Kalau debat di media sosial? tidak mendapatkan apa-apa, karena yang diperebutkan hanya pepesan kosong. Yang terjadi justru permusuhan, hilang pertemanan, diblokir, bahkan ada yang berujung ke aparat hukum.

Kelima, bijak menggunakan media sosial.Tahun 2013 Kemenkominfo mencatat pengguna internet di Indonesia sebagai 63 juta orang, dan 95 orang persennya menggunakan untuk mengakses media sosial (medsos). Hal itu membuktikan bahwa internet belum digunakan secara optimal, hanya digunakan untuk berselancar media sosial, walau memang di medsos juga banyak berseliweran berbagai informasi, dari mulai informasi yang dapat bermanfaat dan dipertanggung jawabkan, sampai informasi yang provokatif, “sampah”, dan hoax. Oleh karena itu, pengguna medsos harus cerdas dalam menyikapi setiap informasi yang dibaca. Apalagi ditengah kondisi perang opini di duniacyberyang semakin tajam.

Itulah lima pelajaran yang dapat diambil dari kasus Kultwit Gus Mus. Selalu ada hikmah dari sebuah peristiwa. Bukankah manusia, dengan pikiran dan hatinya adalah makhluk yang harus mengambil pelajaran?

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.

Oleh:

IDRIS APANDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun