MORATORIUM UJIAN NASIONAL
Oleh:
IDRIS APANDI
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy beberapa waktu yang lalu menyampaikan rencana untuk menghentikan sementara (moratorium) Ujian Nasional. Hal yang menjadi dasarnya adalah UN bukan lagi menjadi syarat kelulusan seorang peserta didik dari satuan pendidikan. UN hanya berfungsi menjadi sarana pemetaan mutu pendidikan. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan setiap tahun. UN dilakukan sesuai kebutuhan.
Selain itu, anggaran UN sangat besar, mencapai 500 milyar, dan UN menyebabkan stres bagi peserta didik. Tidak adil ketika prestasi siswa selama tiga tahun hanya ditentukan dalam waktu tiga hari dan hanya mengujikan bebetapa mata pelajaran. UN sama sekali mengabaikan penilaian proses. Belum lagi, kondisi guru, sarana dan prasarana sekolah yang belum merata di seluruh Indonesia menyebabkan kesenjangan kualitas sekolah.
Pada tahun 2009, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan para aktivis pendidikan agar UN dihentikan. Dalam putusannya, MA menyatakan pemerintah dianggap lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan sarana pendidikan. Oleh karena itu, sebelum pemerintah melaksanakan UN, diminta untuk meningkatkan mutu sekolah agar mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Tapi pemerintah bersikeras melaksanakan UN sambil berjanji melakukan peningkatan mutu pendidikan dan perbaikan sistem UN.
Pelaksanaan UN diwarnai ketidakjujuran. Akibat khawatir tidak lulus UN, maka sekolah membuat “Tim Sukses”, transaksi jual beli kunci jawaban UN terjadi, walau belum tentu kunci jawaban tersebut benar. Bak penangkapan teroris, polisi pernah “menggerebeg” guru yang membagi-bagikan kunci jawaban UN. Suasana menjadi menjadi tidak nyaman. Polisi dan Tim Pemantau UN wara-wiri mengawasi UN. Dengan alasan pengamanan dan pengawasan, sekolah sudah tidak dipercaya lagi integritasnya sebagai penyelenggara UN. Belum lagi tuntutan dari kepala daerah agar kelulusan UN di daerahnya 100%, maka mulai dari Kepala Dinas, Kepala Sekolah, dan guru repot harus “mengamankan” pesan sang kepala daerah.
Berdasarkan kepada hal tersebut diatas, tahun 2015/2016 Mendikbud Anies Baswedan membuat terobosan dengan tidak menjadikan UN sebagai sebagai syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Kelulusan peserta didik diserahkan kepada satuan pendidikan. Muhadjir Effendy yang menggantikan Anies sebagai Mendikbud membuat langkah yang lebih nyata, yaitu berencana menghentikan UN mulai tahun 2017 sampai waktu yang tidak ditentukan. Rencana ini telah diajukan kepada Presiden Joko Widodo, dan tinggal menunggu persetujuannya. Menyikapi usulan tersebut, Presiden Jokowi akan melaksanakan rapat dengan berbagai pihak terkait untuk membahas rencana tersebut.
Indonesia adalah negara yang sangat luas. Baru 30% sekolah yang mencapai SNP, dan sisanya sebanyak 70% belum mencapai SNP. Oleh karena itu, tugas pemerintah untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah tersebut hingga mencapai SNP. Dan tentunya, hal tersebut memerlukan proses dan anggaran yang sangat besar. Membangun mutu tidak bisa bimsalabim, atau tidak seperti membalikkan telapak tangan, tetapi butuh proses, keseriusan, dan komitmen dari berbagai pihak terkait.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 menyebutkan bahwa lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan pemberlakukan kurikulum 2013 (K-13), empat SNP, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetens lulusan, dan standar penilaian telah diubah. Guru-guru peserta pelatihan implementasi K-13 telah mendapatkan sosialisasinya dan diharapkan dapat mengimplementasikannya dalam pembelajaran.