Oleh:
IDRIS APANDI
Semua sudah mafhum bahwa guru memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Puja dan puji diberikan kepada guru, apalagi kalau bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hari Guru. Intinya, tidak dapat dibayangkan sistem pendidikan sebuah negara tanpa guru, pasti kacau balau.
Dulu, guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bahkan dibuat lagunya. Iwan Fals juga, dalam lagunya mengidentikkan dengan sosok Umar Bakri yang hidup prihatin. Tapi kini, guru tidak sebagai sosok yang digambarkan pada kedua lagu tersebut. Guru kini, pahlawan pendidikan yang diberikan “tanda jasa” berupa Tunjangan Profesi Guru (TPG). Tidak lagi naik sepeda kumbang, tapi sudah berseliweran minimal naik kendaraan roda dua dan sudah banyak yang mengendarai kendaran roda empat.
Apakah salah kalau guru hidup sejahtera? Jelas tidak. Bahkan, menurut Saya, guru harus dibuat makin sejahtera mengingat tugasnya yang berat dalam mercerdaskan anak-anak bangsa, dan supaya mereka bisa fokus melaksanakan tugas, tidak berpikir mencari penghasilan tambahan, walau menurut sudut pandang lain, tidak ada jaminan guru akan fokus melaksanakan tugas walau sudah diberikan tunjangan yang besar sekalipun, karena mengukur kepuasan secara materi tidak akan pernah selesai sepanjang manusia memiliki berbagai macam keinginan. Ya, pro dan kontra itu biasa di alam demokrasi.
Selain mendapatkan TPG, pemerintah pun memberikan beragam jenis penghargaan kepada guru. Ada program guru berprestasi, guru berdedikasi, guru berkonstitusi, dan mungkin program-program lainnya. Guru-guru yang mengikuti kegiatan tersebut biasanya adalah guru-guru pilihan yang sudah melalui proses seleksi dari level satuan pendidikan, gugus, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Makin tinggi level, maka persaingan makin ketat, makin tinggi standar yang ditetapkan, dan makin keras upaya yang perlu dilakukan oleh peserta untuk dapat menjadi juara. Guru-guru pemenang lomba mendapatkan hadiah dari mulai uang, beasiswa, sampai umroh. Hal tersebut merupakan berkah dari perjuangan keras yang telah mereka lakukan dan tentunya patut disyukuri.
Program guru berprestasi, guru berdedikasi, guru berkonstitusi, olimpiade, lomba inovasi pembelajaran, atau apapun namanya, pada dasarnya baik-baik saja untuk memberikan penghargaan, membangun iklim bersaing secara sehat, membangun motivasi berprestasi, dan membentuk mereka menajadi manusia pembelajar, yang bermuara untuk meningkatkan harkat dan martabat guru. Orang-orang hebat lahir dari sebuah persaingan, tentunya persaingan yang sehat dan fair. Bayangkan kalau hidup tidak ada persaingan, tentunya akan monoton.
Saat ini, asal guru mau kreatif, bekerja keras, mau tampil beda dari yang lain, wahana untuk menampilkan karya-karya sudah cukup banyak. Walau demikian, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik dalam diri Saya, mengapa guru kok seperti dikotak-kotakkan menjadi sekian banyak kategori. Ada guru berprestasi, ada guru berdedikasi, ada guru berkonstitusi, atau kategori-kategori lainnya?
Menurut Saya, guru harus menjadi sosok yang paripurna, dalam istilah Sunda harus masagi alias memiliki hard skill dan soft skill yang matang. Seorang guru harus berprestasi, harus berdedikasi, dan sekaligus sebagai pengamal konstitusi negara yaitu Undang-undang Dasar 1945. Jika dikategorikan seperti ini, seolah-olah kompetensi guru dinilai secara parsial. Guru berprestasi seolah tidak perlu berdedikasi dan berkonstitusi, guru berdedikasi seolah tidak perlu berprestasi dan berkonstitusi, dan guru berkonstitusi seolah tidak perlu berprestasi dan berdedikasi.
Bagi Saya, prestasi, dedikasi, dan konstitusi adalah kesatuan yang utuh. Prestasi lahir dari sebuah dedikasi. Salah satu indikator penilaian prestasi adalah dedikasi. Prestasi tanpa dedikasi akan kurang berarti. Guru berprestasi dan berdedikasi dapat menjadi contoh sebagai pengamal konstitusi. Pengamal konstitusi tidak selalu identik dengan hapal pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945, tetapi pemikiran, sikap, dan perbuatannya mencerminkan sebagai pengamal konstitusi sehingga bisa menjadi sosok teladan bagi peserta didik, sesama rekan guru, dan masyarakat.
Guru Beraksi