Oleh:
IDRIS APANDI
“Antar dengan bangga, lepas dengan do’a.” Itulah kalimat yang terpampang pada gambar sosialiasi mengantar anak pada hari pertama sekolah. Hal ini telah dilaksanakan dilaksanakan oleh Kemdikbud sejak tahun lalu. Dan Saya pun, termasuk orang tua berkesempatan mengantarkan anak Saya ke sekolahnya.
Mengapa orang tua perlu mengantarkan anak ke sekolah? karena sedikitnya ada delapan manfaat yang dapat diambil, yaitu; (1) mengantar anak ke sekolah pada dasarnya adalah kewajiban orang tua, (2) dapat berkenalan dengan guru, wali kelas, dan kepala sekolah, (3) menceritakan kondisi dan karakter anak saat di rumah, (4) bertanya dan memberi masukan mengenai pembelajaran satu tahu ke depan, (5) bertukar kontak dengan guru, wali kelas, dan kepala sekolah, (6) mengapresiasi guru karena telah mendidik anak-anak kita, (7) menawarkan bantuan untuk terlibat dalam kegiata penunjang pembelajaran, (8) berkenalan dengan orang tua murid lainnya. (Kemdikbud, 2016).
Jauh-jauh hari sebelum Mendikbud Anies Baswedan mengampanyekan mengantar anak ke sekolah, para orang tua, utamanya orang tua siswa kelas I SD sudah melakukannya. Bahkan mereka hampir setiap hari menongkrongidan mengintip anaknnya dari balik jendela kelas karena takut anaknya menangis, ngompol, atau berantemdengan siswa yang lain. Hanya sekarang memang inisiatif datang dari pemerintah sehingga kesannya lebih menggema, tersistem, dan terorganisir.
Mengantar anak ke sekolah memang lebih dititikberatkan kepada anak kelas I SD karena bersekolah adalah pengalaman pertama mereka, masih kecil, dan masih perlu bimbingan. Walau demikian, menurut Saya, siswa baru di SMP dan SMA/SMK pun perlu diantar oleh orang tua, tetapi konteksnya bukan karena mereka khawatir tersesat ke sekolah, tetapi dalam konteks orang tua melakukan tugasnya sebagai orang tua dan mendapatkan delapan manfaat sebagaimana yang disebutkan di atas.
Anak usia SMP dan SMA/SMK sudah memasuki usia remaja, sebuah usia transisi menuju dewasa, dan usia tersebut termasuk rawan karena pada usia tersebut mereka mencari jati diri. Di satu sisi mereka tidak disebut anak-anak lagi, tetapi di sisi lain, pola pikirnya belum matang. Oleh karena itu, orang tua justru harus mengantisipasi dari awal agar anaknya tidak terjebak kepada dampak negatif pergaulan remaja, seperti tawuran, geng motor, penggunaan narkoba, dan seks bebas.
Orang tua perlu menyampaikan informasi tentang anaknya dan berkomunikasi dengan guru, wali kelas, dan kepala sekolah untuk bekerjasama mendidik, membimbing, dan mengawasi anaknya. Jangan sampai karena telah menitipkan anaknya dididik di sekolah, orang tua merasa telah lepas tanggung jawab, karena tanggung jawab orang tua sifatnya melekat dalam mendidik anak.
Orang tua jarang melakukan komunikasi dengan gurunya, bahkan kalau diundang jarang hadir dengan alasan sibuk. Orang tua baru bereaksi atau baru datang ke sekolah ketika anaknya bermasalah seperti sering bolos, nilainya anjlok, terlibat bullying,tawuran, dan sebagainya. Kadang orang terkejut mendengar penjelasan guru berkaitan dengan kelakuan anaknya karena di rumahnya anaknya tampak berperilaku baik, dan tidak pernah membuat masalah. Orang tua tidak tahu kondisi anak karena sibuk bekerja dan jarang berkomunikasi dengan anak di rumah.
Mengantarkan anak ke sekolah adalah sebuah langkah yang sangat penting dan strategis karena anak kita nanti akan mengisi 1/3 harinya di sekolah, 5-6 hari seminggu, dan bertahun-tahun belajar di sekolah. Ketika orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah, tentu akan menjadi sebuah kenangan yang sangat berkesan baginya. Dia akan menulis dalam catatan hidupnya, dan suatu saat akan menceritakan kepada anak cucunya bahwa hari pertama sekolah dia diantar oleh orang tuanya. Hal ini juga tentunya akan dicontoh oleh dia kelak ketika mengantarkan anaknya ke sekolah.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Mendikbud Anies Baswedan mengirimkan surat edaran kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia dan kepada Menpan-RB agar mengizinkan PNS/ASN hadir di tempat kerjanya masing-masing setelah mengantarkan anaknya ke sekolah.