Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menghakimi atau mempermalukan guru-guru bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa asing, maupun bahasa daerah, tapi hanya sebuah pertanyaan reflektif saja, dan bahasan pada tulisan ini masih bisa didiskusikan lebih lanjut.
Tulisan ini Saya tulis berdasarkan pengalaman Saya di lapangan. Sebagai seorang pelatih guru, Saya sering mendapatkan undangan dari guru-guru, termasuk guru-guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa untuk memberikan pelatihan menulis.
Materi yang paling banyak diminta adalah Menulis Penelitian Tindakan Kelas (PTK), artikel jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah populer. Mengapa materi tersebut banyak dibutuhkan? Karena dalam konteks pendekatan praktis, para guru wajib menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) sebagai syarat naik pangkat dan yang paling populer adalah tiga jenis KTI tersebut diantara sekian banyak KTI yang bisa diajukan untuk naik pangkat.
Realitanya, banyak guru, termasuk guru bahasa yang sulit naik pangkat. Mereka ada yang telah belasan tahun "parkir" di gol. IV/a. Penyebabnya adalah kesulitan dalam menulis KTI.Â
Berdasarkan Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, seorang guru jika mau naik pangkat dari gol. III/b ke III/c harus menulis KTI. Hal ini jika tidak diantisipasi, maka banyak guru gol. III/b yang akan parkir karena tidak menulis KTI.
Banyak faktor penyebab atau alasan guru belum mau menulis, antara lain: (1) sibuk, (2) sulit mengatur waktu, (3) tidak punya ide, (4) punya ide, tapi sulit mengembangkannya, (5) kesulitan referensi, (6) belum merasa perlu, (7) kurang percaya diri, dan (8) malas.Â
Dari delapan penyebab tersebut, Saya melihat bahwa faktor yang paling dominan adalah malas. Walau punya banyak waktu, tapi kalau malas, tetap saja tidak mau menulis. Malas bisa menghinggapi siapa pun, termasuk Saya sendiri, dan rasa malas memang harus dilawan jika mau berkarya.
Menulis adalah salah satu keterampilan berbahasa. Dari empat keterampilan berbahasa, yaitu (1) membaca, (2) menyimak, (3) berbicara, dan (4) menulis, keterampilan menulis merupakan hal yang paling sulit, karena menulis harus diawali dengan proses membaca, dan orang yang rajin baca pun belum tentu dapat menulis dengan lancar. Semuanya butuh proses.
Seorang guru dapat berbicara atau menjalaskan materi pelajaran dari awal sampai akhir pelajaran dengan lancar, tidak kekurangan kata-kata, tapi ketika diminta untuk menuliskan kembali apa yang telah dijelaskannya, dia mengalami kesulitan.Â
Mengapa demikian? Karena menulis memerlukan keterampilan menyusun kata demi kata secara sistematis. Ketika keliru berbicara, dapat langsung diperbaiki pada saat itu juga, tapi kalau keliru menulis, apalagi tulisannya sudah dicetak, diterbitkan, dan menyebar kemana-mana, maka akan sulit untuk memperbaikinya.
Idealnya, seorang guru bahasa memiliki kompetensi yang lebih dalam hal menulis dibandingkan dengan guru-guru yang lain, karena selama kuliah, dia banyak belajar tentang teori-teori menulis, tetapi realitanya tidak demikian. Orang yang banyak tahu tentang menulis, belum tentu dapat menulis dengan lancar.Â