Publish or perish,terbitkan atau minggir. Itulah ungkapan yang populer di Amerika yang menggambarkan pentingnya menerbitkan buku di kalangan akademisi. Dengan kata lain, kompetensi, kredibilitas, dan “harga diri” seorang akademisi terletak pada karya tulis yang diterbitkannya. Buku adalah jejak pemikiran penulisnya yang akan diwariskan kepada keturunannya dan kepada dunia ilmu pengetahuan.
Sejatinya, aktivitas menulis harus menjadi budaya akademik kaum akademisi, tetapi realitanya, hal ini belum menjadi budaya. Kalau pun mau menulis KTI, hal tersebut dilakukan secara terpaksa sebagai syarat naik pangkat. Menulis buku masih dirasakan menjadi aktivitas yang sulit dengan berbagai alasan. Asosiasi Blogger Reporter Indonesia menyebutkan tahun 2013 menyebutkan bahwa produktivitas Indonesia dalam penerbitan buku masih tergolong rendah, hanya 18.000 judul buku per tahun, sementara Jepang 40.000 judul, India 60.000 judul, dan China 14.000 judul buku. Hal tersebut tentunya sangat jauh dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat sekitar 250 juta orang.
Minimnya jumlah buku yang terbit di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masih minimnya jumlah penulis. Banyak orang yang secara keilmuan menguasai bidang tertentu, tapi belum mampu atau memiliki keterbatasan menuliskannya. Selain itu, minat menjadi penulis juga bisa dikatakan masih rendah, karena menjadi penulis belum dapat dijadikan sebagai andalan penghasilan, hanya dijadikan sebagai penghasilan sampingan saja.
Kedua, jumlah royalti yang sangat minim. Penulis hanya mendapatkan royalti 10%, dan itu pun berdasarkan jumlah buku yang terjual, sedangkan penerbit dan toko buku mendapatkan 90% dari harga buku. Itu pun kalau penerbitnya jujur, tapi kalau tidak jujur, royalti penulis banyak yang tidak dibayar. Kadang penulis harus “mengemis” menanyakan royalti bukunya kepada penerbit, karena tidak kunjung dibayar. Dengan kata lain, di Indonesia, profesionalisme penulis belum benar-benar dihargai.
Ketiga,sulitnya naskah menembus penerbit-penerbit mayor sehingga kadang menurunkan motivasi penulis untuk memasukkan naskahnya. Ketika naskah buku ditolak penerbit, sebenarnya masih ada alternatif yang dapat dilakukan, yaitu menggunakan jasa penerbit indie atau self publishing. Saat ini di berbagai kota sudah banyak bermunculan penerbit Indie. Penulis pun dapat menjual bukunya secara langsung dengan menggunakan berbagai media seperti pada saat kegiatan pelatihan, bazaar, atau secara online.
Keempat,mahalnya harga buku menyebabkan minat masyarakat membeli buku masih rendah. Hal ini disebakan karena penerbitan buku dikenai pajak sehingga berdampak kepada mahalnya harga buku. Selain itu, pola pikir masyarakat belum menempatkan buku sebagai kebutuhan. Buku masih ditempatkan sebagai kebutuhan elitis. Apalagi bagi masyarakat ekonomi rendah. Mereka lebih memprioritaskan membeli sembako daripada membeli buku.
Menulis memang pekerjaan tidak mudah, butuh pengetahuan, keterampilan, dan kesungguhan yang luar biasa. Banyak orang yang sebenarnya memiliki semangat tinggi untuk menulis, tapi belum memiliki kepercayaan diri untuk menerbitkannya sendiri, masih terbatasnya media untuk menerbitkan tulisannya, atau tidak tahu harus kemana mengirimkan naskah tulisannya. Akibatnya, naskah-naskah tersebut hanya menjadi arsip di laptop saja.
Semangat mereka dalam menulis jangan sampai padam gara-gara kendala tersebut di atas. Perlu ada media sebagai sarana untuk memfasilitasi keinginan atau hobi menulisnya. Salah satu alternatif yang dilakukan adalah menerbitkan buku secara “keroyokan.” Penerbitan buku secara “keroyokan” biasanya dikoordinir oleh komunitas atau kelompok tertentu. Sejumlah penulis pemula dikoordinir untuk menyerahkan tulisannya lalu diterbitkan menjadi sebuah buku.
Pengelola buku “keroyokan” ada yang cukup ketat menentukan jenis tulisan yang ditulis, seperti cerpen, puisi, atau artikel populer, tapi ada juga relatif longgar. Prinsipnya yang penting nulis.Urusan kualitas tulisan tidak terlalu dipersoalkan. Hal itu akan berproses seriing dengan semakin bertambahnya jam terbang para penulisnya, karena kualitas bukan sim salabim,tapi butuh proses. Biasanya buku “keroyokan” diterbitkan menggunakan jasa self publishing,dicetak dalam jumlah yang terbatas, dan dijual di kalangan terbatas juga.
Penerbitan buku secara “keroyokan” dapat menjadi jembatan bagi para penulis pemula untuk memiliki karya dan memiliki kebanggaan. Berawal dari menerbitkan buku secara “keroyokan”, semoga dapat menjadi motivasi untuk menerbitkan buku secara mandiri, dan menambah khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia.
Penulis adalah Pembelajar, tinggal di Bandung.