Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pemudik Berubah Menjadi Gladiator

3 Juli 2016   22:28 Diperbarui: 3 Juli 2016   23:11 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan pada saat arus mudik. (Foto: liputan6.com)

Oleh:

IDRIS APANDI

Mudik tahun ini diwarnai kemacetan yang sangat parah di tol Brebes Timur menuju Pantura. Para pemudik ada yang tertahan sampai 22 jam. Mesin mobil banyak yang dimatikan total karena tidak bisa maju. Waktu terbuang percuma, BBM pun terkuras, hanya sekedar untuk injak pedal gas di tempat, bahkan ada yang kehabisan BBM. Hal ini tentunya adalah sebuah pemborosan berjamaah di tengah himbauan pemerintah agar hemat energi. Kondisi fisik pun semakin menurun. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap konsentrasi dan stabilitas emosi para pemudik.

Mereka yang awalnya sabar sudah mulai tidak sabar dan stres. Tertahan selama belasan bahkan puluhan jam di jalan bebas hambatan adalah suatu hal yang ironis. Katanya jalan bebas hambatan, tetapi faktanya laju perjalanan terhambat. Dengan nada ketus, mungkin mereka ngedumelsambil bicara begini, “ini jalan sudah bayar, tapi tetap saja macet.”

Macet sebenarnya hal yang biasa terjadi pada saat mudik, bahkan pada hari-hari biasa pun, kemacetan sudah jadi pemandangan umum, utamanya pada jam-jam sibuk di pagi dan sore hari. Sambil menghibur diri, para pemudik mengatakan bahwa macet adalah seninya mudik. Istilahnya, kalau mudik gak macet, gak rame. Tapi kalau macetnya sampai puluhan kilo meter tentunya sangat menyiksa.

Volume kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang ruas jalan selalu menjadi alasan klasik penyebab kemacetan. Apalagi mudik menggunakan kendaraan roda empat lebih aman dan nyaman daripada menggunakan kendaraan roda dua. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan semakin mudahnya proses kepemilikan menyebabkan animo masyarakat memiliki kendaraan roda empat semakin meningkat. Dan bagi yang belum memiliki kendaraan roda empat, mereka memilih untuk menyewa.

Kendaraan roda empat saat ini memang bukan hanya sekedar untuk gaya hidup, tetapi juga kebutuhan. Bahkan ada yang digunakan untuk menunjang kegiatan usaha. Di jalan-jalan protokol atau di keramaian, kita dapat jumpai mobil-mobil yang digunakan untuk berjualan makanan, pakaian, sepatu, asesoris dan sebagainya.

Dalam kondisi masyarakat yang semakin materialistis, kepemilikan kendaraan roda empat dapat menjadi salah satu indikator kesuksesan seseorang. Memiliki kendaraan roda empat sah-sah saja, hak setiap orang, apalagi kondisi sarana transportasi umum dianggap belum aman dan nyaman, ditambah mentalitas Orang Kaya Baru (OKB) masyarakat negara berkembang semakin meningkatkan jumlah kepemilikan kendaraan roda empat. Satu keluarga ada yang memiliki lebih dari satu mobil. Upaya pemerintah menaikkan pajak kendaraan dan membatasi jumlah kendaraan dinilai tidak terlalu signifikan mampu mengendalikan kepemilikan kendaraan roda empat.

Dalam kondisi lapar, haus, cuaca yang panas, ditambah kondisi fisik yang semakin menurun, emosi mudah naik dan konsentrasi menurun. Akibatnya, akal sehat pun tidak dapat digunakan dengan baik. Para pemudik yang sama-sama memiliki niat pulang kampung akhirnya menjelma menjadi gladiator alias petarung.

Disamping “bertarung” melawan emosi dan rasa lelah, mereka juga “bertarung” dengan sesama pemudik, sehingga tidak heran mereka sulit untuk antri, saling salip, sama-sama ingin segera sampai ke tujuan, dan terbebas dari kemacetan yang sangat menyiksa. Rasa lelah dan ngantuk dapat berpotensi menyebabkan kecelakaan. Oleh karena itu, sebaiknya beristirahat dulu untuk memulihkan stamina.

Selain menyusuri jalan-jalan utama, para pemudik juga menyusuri jalan-jalan alternatif yang kecil, masuk ke jalan-jalan desa yang kondisinya rusak, dan minim penerangan. Membanjirnya pemudik ke jalan-jalan alternatif dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan pungutan  liar (pungli). Hal ini tentunya membuat perjalanan kurang nyaman dan rawan tindak kriminal. Kembali, mereka harus menjadi gladiator, “berperang” melawan rasa takut dalam medan perjalanan yang begitu berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun