Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Spiritual Mudik

25 Juni 2016   14:39 Diperbarui: 25 Juni 2016   15:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Mudik merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari perayaan idul fitri. Mudik jelang hari raya bukan hanya dilakukan di Indonesia, tetapi di beberapa negara seperti Malaysia, Tiongkok, Pakistan, India, dan Arab Saudi. Sepekan menjelang lebaran, para pemudik mulai meninggalkan perantauan menuju kampung halaman dengan menggunakan berbagai moda transportasi. Puncak arus mudik biasanya terjadi pada H-3 atau H-2 lebaran.

Kemacetan menjadi seni tersendiri yang harus dinikmati oleh para pemudik. Mudik ditempuh dengan penuh perjuangan karena harus menghadapi berbagai resiko seperti kecelakaan, gangguan kesehatan, atau kendaraan yang mogok karena kondisinya kurang layak. Walau demikian, para pemudik menikmatinya dan tidak kapok-kapok mudik tiap tahun karena rasa takut dan capai selama di perjalanan terobati ketika sampai di kampung halaman dan bertemu dengan orang tua dan sanak saudara tercinta.

Aktivitas mudik bukan hanya dapat dimaknai sebagai perjalanan pulang kampung saja, tapi dapat juga dimaknai dari sisi lain, antara lain dari sisi spiritual. Mudik dilatar belakangi oleh niat ingin mengunjungi orang tua, ingin bersimpuh dan memohon maaf padanya. Jika kedua orang tua sudah meninggal, sang anak ingin berziarah, mendatangi kuburannya, dan mendo’akannya. Bukankah salah satu ciri anak yang saleh adalah mendo’akan kedua orang tua?

Selain meminta maaf atau mendo’akan kedua orang tua, sang anak juga ingin berbagi rezeki atau hasil usahanya di kota kepada orang tua. Bukankah kesuksesan anak juga adalah do’a dari kedua orang tua? Walau sebenarnya jasa orang tua tidak dapat diganti dengan “THR” yang diberikan oleh sang anak kepada mereka, tetapi setidaknya itu adalah bentuk perhatian dan bentuk balas budi terhadap jasa orang tua yang telah mengurus dan membesarkannya, dan orag tua pun senang jika diperhatikan atau diberikan bingkisan oleh sang anak.

Selain berkunjung kepada orang tua, sang pemudik juga ingin bersilaturahmi kepada sanak saudara yang sudah tidak lama tidak bertemu? Bukankah silaturahmi sangat dianjurkan oleh ajaran agama Islam? Karena silaturahmi mendatangkan berkah, antara lain; memanjangkan umur, mendatangkan rezeki, dan semakin merekatkan tali persaudaraan.

Orang yang sukses di kota setidaknya dapat berbagi “THR” kepada sanak saudaranya di kampung. Hal tersebut sebagai refleksi dari rasa syukur terhadap rezeki yang didapatkannya. Bukankah berbagi rezeki dianjurkan oleh agama? Bukankah rezeki yang dibagikan dengan ikhlas akan bertambah keberkahannya?

Tiga hal yang Saya sebutkan di atas, yaitu berbakti kepada orang tua, bersilaturahmi kepada sanak saudara, dan berbagi rezeki adalah ciri-ciri dari seorang muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Ketiga hal tersebut bernilai ibadah, cerminan dari kemampuan seorang muslim dalam membina hubungan, baik secara vertikal (hablumminallaah)maupun secara horizontal (hablumminannaas).  

Dalam konteks peningkatan kualitas pribadi, mudik dapat diartikan bukan sebagai kembalinya seseorang ke tanah kelahiran, tapi juga mudik secara spiritual, yaitu kembali kepada kesucian (fitri) setelah sebulan berpuasa. Setiap orang yang berpuasa tentunya berharap demikian, tetapi proses menuju kembali kepada kesucian tidaklah mudah. Dipenuhi ujian dan perjuangan yang sangat luar biasa. Selama berpuasa, seorang muslim disamping harus menahan lapar dan dahaga, juga menahan hawa nafsu.

Selanjutnya, sebagai seorang makhluk ciptaan Tuhan, dia akan mudik kepada Sang Pencipta, dan itu bersifat abadi, alias akan menghadapi kematian. Manusia diciptakan Tuhan dari saripati tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun.

Ketika mudik ke kampung kampung halaman yang hanya beberapa hari, seseorang menyiapkan banyak bekal, bahkan jauh-jauh hari telah menabung buat mudik. Kalau pun kekurangan bekal, bisa meminjam kepada yang lain. Sekarang kita bertanya kepada diri kita masing-masing, sudah berapa banyak bekal yang sudah disiapkan untuk mudik kepada keabadian? Di alam sana, hanya amal kebaikan masing-masing manusia ketika hidup di dunia yang dapat membantunya. Dia tidak dapat dibantu atau membantu orang lain, walau kepada orang tua, suami, istri, atau anak-anak yang dicintainya. Setiap manusia mempertanggung jawabkan diri mereka masing-masing dihadapan-Nya. Oleh karena itu, melalui momentum ramadhan ini, seorang muslim bukan sekedar memikirkan mudik yang hanya dilakoni beberapa hari saja, tapi mudik kepada keabadian alias kematian. Itulah sejatinya nilai spiritualitas mudik.

Indramayu, 20 Ramadan 1437 H/ 25 Juni 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun