Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru dalam Sanderaan Undang-undang Perlindungan Anak

21 Mei 2016   14:01 Diperbarui: 4 April 2017   18:13 14125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Saat ini di media sosial ini sedang ramai diberitakan seorang guru SMP di Kabupaten Bantaeng yang ditahan atas tuduhan melakukan kekerasan fisik terhadap muridnya. Sebelum berita tersebut ramai di media, muncul juga berita seorang guru di Sulawesi diadukan melakukan kekerasan psikis ke polisi gara-gara mengingatkan siswanya yang membuang sampah sembarangan. Dan beberapa tahun yang lalu, di Majalengka, seorang guru dianiaya oleh orang tua siswa dan mendekam di penjara gara-gara mencukur rambut siswa yang gondrong.

Para guru tersebut biasanya diadukan ke aparat kepolisian melanggar Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA seolah telah menjadi “jebakan batman,” menyandera, dan alat untuk melakukan kriminalisasi bagi guru. Hal ini pun tidak lepas dari pemaknaan HAM yang kebablasan pasca bergulirnya arus reformasi.

Pasal yang biasanya dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru adalah Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Adapun jenis-jenis kekerasan tercantum pada pasal 69, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Sedangkan pada situs Wikipedia disebutkan ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak, yaitu : (1) pengabaian, (2) kekerasan fisik, (3) pelecehan emosional/ psikologis, dan (4) pelecehan seksual anak.

Tindakan hukuman disiplin yang dilakukan oleh guru, yang pada waktu dulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai melanggar HAM. Akibatnya, guru seperti menghadapi dilema, di satu sisi dia harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah, sementara disisi lain, khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau LSM pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.

Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa siswa nakal tersebut dibiarkan saja, dari pada nantinya guru terkena masalah hukum. Ketidaktegasan guru berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa, khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal. Mereka semakin seenaknya melanggar tata tertib sekolah, karena toh tidak akan dihukum.

Guru akhirnya cari aman, tidak mau pusing dengan urusan sikap, perilaku, etika, dan sopan santun siswa (walau hatinya mungkin memberontak). Datang ke sekolah hanya mengajar, sampaikan materi sampai habis jam pelajaran, dan pulang. Intinya, asal gugur kewajiban.

Proses pendidikan yang seharusnya meliputi tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, lebih dominan pada ranah pengetahuan. Akibatnya, banyak anak pintar tapi sikap dan perilakunya kurang baik, jumlah kenakalan remaja semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan, bahkan sudah masuk ke kategori tindakan kriminalitas, seperti mencuri, merampok, menganiaya, memerkosa, bahkan sampai membunuh. 

Hal tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan. Ini adalah pekerjaan besar yang harus dipikirkan dan dicari solusinya antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.

Jadi Orang Tua Jangan Lebay

Setiap orang tua yang menitipkan anaknya ke sekolah tentunya berharap anaknya diperlukan baik oleh seluruh warga sekolah khususnya guru. Dengan kata lain, orang tua berharap anaknya merasa nyaman di sekolah. Sekolah dapat menjadi rumah keduanya, dan guru diharapkan berperan sebagai orang tua siswa di sekolah.

Ketika ada masalah yang menimpa anaknya, maka orang tua jangan lebay atau terlalu reaktif dan emosional. Jangan hanya mendengar penjelasan sepihak dari anaknya, karena secara naluriah, yang namanya anak, ketika dia melakukan kesalahan pun ingin agar dia dibela oleh orang tuanya, dan secara naluriah orang tua pasti sayang sama anaknya, dan ingin membela anaknya.

Selain mendengarkan penjelasan anak, orang tua harus datang sendiri ke sekolah, untuk meminta klarifikasi atau penjelasan dari pihak sekolah berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh anaknya, jangan mewakilkan kepada pembantu atau anggota keluarga yang lain, karena mungkin saja informasi yang didapatkan juga tidak utuh.

Zaman dulu, ketika ada anak lapor kepada orang tuanya karena dihukum oleh guru, orang tua justru malah menambah hukumannya karena orang tua yakin guru tidak semata-mata memberikan hukuman kepada anaknya, kalau anaknya tidak berbuat kesalahan. Dengan kata lain, orang tua benar-benar percaya kepada guru. 

Bahkan pada saat mendaftarkan anaknya, orang tua memberikan kebebasan kepada guru untuk melakukan apa saja kepada anaknya, yang penting anaknya dididik, bisa baca, tulis, dan berhitung.

Zaman sekarang, ketika ada kasus kecil saja, ada oknum orang tua lebay yang  langsung lapor polisi sambil bawa pengacara mengadukan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anaknya. 

Oknum orang tua tipe ini biasanya berasal dari kalangan (merasa) berpendidikan (tapi kurang paham tugasnya sebagai orang tua), pejabat, birokrat, aparat, atau merasa memiliki beking yang dapat membantunya. Akibatnya, guru harus bolak-balik ke kantor polisi karena diinterogasi, dan tugasnya mengajar pun terbengkalai.

Jika memang terjadi kekerasan (utamanya kekerasan ringan) terhadap anaknya, maka jangan buru-buru lapor polisi atau lapor LSM, apalagi wartawan, karena bisa panjang urusannya, dan justru akan membuat kegaduhan, bahkan menjadi polemik. Lebih baik mencari solusi secara damai dan kekeluargaan, atau istilahnya win-win solution.

Saya yakin tidak ada guru yang ingin menganiaya muridnya, walau demikian, guru juga manusia, yang mungkin berbisa berbuat khilaf. Orang tua dan guru saling introspeksi saja, saling memaafkan, dan mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Intinya, ada komunikasi yang baik antara guru dan orang tua siswa.

Penguatan Kompetensi Kepribadian Guru

Guru adalah ujung tombak pembelajaran. Guru adalah sosok yang paling banyak berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa. Oleh karena itu, pihak tertuduh pertama ketika ada kasus yang menimpa siswa adalah guru. Saya yakin pada dasarnya setiap guru ingin agar anak didiknya menguasai ilmu yang disampaikannya, terampil, dan berbudi pekerti luhur. Tiap guru memiliki gaya, cara, dan karakter masing-masing dalam menyampaikan materi pelajaran.

Dulu ketika Saya duduk di bangku sekolah di kenal istilah “guru killer”. Predikat seperti itu biasanya diberikan guru yang galak atau pelit nilai. Guru killer menjadi horor bagi siswa. Para siswa takut kalau kebetulan ada jam pelajaran sang guru killer. 

Walau pun predikat tersebut kurang baik, tapi Saya yakin pada dasarnya hati sang “guru killer” baik, ingin anak-anak didiknya disiplin, mengikuti pelajaran dengan baik, dan berprestasi, hanya cara mengeskpresikannya terkesan arogan.

Seiring dengan perkembangan zaman, predikat “guru killer” sudah kurang relevan. Yang diperlukan saat ini adalah guru yang humanis, demokratis, tapi tegas dan berwibawa. Caranya adalah dengan memperkuat kompetensi kepribadian. Kompetensi ini merupakan salah satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru selain kompetensi pedagogik, profesional, dan sosial.

Kompetensi kepribadian erat kaitannya dengan sikap, ucapan, dan perbuatan guru ketika mengajar. Hal ini juga berkaitan dengan kematangan emosional guru. Pada pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru disebutkan bahwa indikator dari kompetensi kepribadian seorang guru antara lain : (a) beriman dan bertakwa, (b) berakhlak mulia, (c) arif dan bijaksana, (d) demokratis, (e) mantap, (f) berwibawa, (g) stabil, (h) dewasa, (i) jujur, (j) sportif, (k) menajdi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (l) secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan (m) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Selanjutnya, pada lampiran Permendikbud Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kualifikasi Guru diuraikan Kompetensi Inti Guru dari aspek kompetensi kepribadian guru antara lain: (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi  peserta didik dan masyarakat, (3) menampilkan diri sebagai sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, (4) menunjukkan atos kerja yang  tinggi , rasa bangga, dan rasa percaya diri, dan (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Sebagai tenaga profesional, guru harus mengetahui, memahami, menghayati, dan mengamalkan kompetensi kepribadian tersebut. Dalam konteks tindakan kekerasan kepada siswa, penguasaan kompetensi kepribadian menjadi benteng bagi guru untuk terhindar dari tindakan kekerasan terhadap siswa.

Dalam membina siswa, guru harus tegas, berani, berwibawa, dan penyayang. Guru disamping sebagai seorang pengajar dan pendidik, juga harus berperan sebagai orang tua sekaligus teman bagi murid-muridnya. Guru tidak boleh jaim, walau tetap harus menjaga wibawanya. Guru pun harus memiliki hubungan yang dekat dengan siswanya dalam konteks sebagai guru dan murid.

Menurut Saya, tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa siswa lebih banyak disebabkan oleh kurang matangnya kompetensi kepribadian guru. Adalah benar guru juga adalah manusia biasa, yang sewaktu-waktu bisa marah atau emosi, tapi disitulah perlunya pengendalian diri. Konsekuensi sebagai seorang guru, dia harus memiliki kesabaran ekstra dalam mendidik anak didiknya.

Regulasi Perlindungan Guru

Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal (2) disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu, juga diperlukan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual guru mengingat banyak guru yang menulis karya ilmiah dan membuat karya inovatif seperti buku pelajaran, buku referensi, alat peraga atau media pembelajaran, software,aplikasi, dan sebagainya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud harus segera merealisasikan perlindungan guru, agar dalam melaksanakan tugas, guru merasa aman, nyaman, dan tenteram, serta tidak mudah dikriminalisasi. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya kasus kriminalisasi terhadap guru membuat guru menjadi was-was ketika akan memberikan sanksi pelanggaran disiplin kepada siswa karena khawatir melanggar undang-undang perlindungan anak. Akibatnya guru menjadi masa bodoh ketika melihat ada siswa yang melanggar disiplin. 

Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bukan Hanya Memperhatikan Hak, tapi Juga Kewajiban Anak (Siswa)

Undang-undang perlindungan anak bukan hanya mengatur tentang hak-hak anak, tetapi juga kewajibannya. Pasal 19 UU perlindungan anak menyebutkan bahwa Setiap anak berkewajiban untuk : (a) menghormati orang tua, wali, dan guru; (b) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, (c) mencintai tanah air, bangsa, dan negara, (d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka para orang tua dan anak-anak (siswa) pun perlu diberikan pemahaman tentang hak dan kewajibannya. Jangan hanya menuntut hak-haknya saja, sementara kewajibannya kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan.

Hukuman disiplin yang diberikan guru kepada siswa biasanya dilakukan ketika siswa tidak melaksanakan kewajibannya, atau tidak menghormati guru. Ibaratnya, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Ini yang harus dipahami oleh orang tua siswa dan siswanya itu sendiri. 

Oleh karena itu, setiap orang tua harus mengingatkan kepada anaknya agar taat dan hormat kepada guru, serta disiplin karena guru pun tidak mungkin ujug-ujug memberikan sanksi kalau tanpa alasan yang kuat.

Pesan Buat Aparat Kepolisian

Ketika ada laporan dari warga masyarakat, tugas polisi adalah menerima dan menindaklanjutinya. Dalam konteks laporan pengaduan kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, maka pihak kepolisian sebaiknya tidak langsung mendorong penyelesaian kasus pada ranah hukum, tetapi diselesaikan secara damai atau kekeluargaan. 

Polisi menjadi mediator antara pihak pelapor dan terlapor, mencari jalan keluar yang paling baik yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Selain itu Penyelesaian secara hukum, akan menguras waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit, serta memberikan tekanan psikologis yang luar biasa utamanya terhadap pihak guru selaku terlapor. Penyelesaian secara hukum akan lebih efektif bagi oknum guru yang terlibat kasus pencabulan atau tindakan kriminal untuk menimbulkan efek jera.

Penutup

Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) pada dasarnya bertujuan baik, yaitu untuk melindungi anak dari tindak kekekerasan dan kesewenang-wenangan. Walau demikian, UUPA jangan sampai menyandera guru dalam mendidik anak didiknya. Berikanlah kembali otonomi mendidik kepada guru. Saya yakin bahwa setiap guru memiliki harapan agar setiap anak didiknya menjadi anak yang cerdas, terampil, dan memiliki budi pekerti luhur.

Perlu adanya komunikasi yang baik antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Sosisalisasikan tata tertib sekolah, jika ada masalah yang menimpa anak didik di sekolah, kedepankan penyelesaian secara damai atau kekeluargaan, dan sebisa mungkin hindari penyelesaian secara hukum. 

Selain itu, perlu adanya sosialisasi dan kesepahaman bersama antara orang tua, guru, dan siswanya itu sendiri terhadap peran, hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan UUPA. Wallaahu a’lam.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun