Dulu ketika Saya duduk di bangku sekolah di kenal istilah “guru killer”. Predikat seperti itu biasanya diberikan guru yang galak atau pelit nilai. Guru killer menjadi horor bagi siswa. Para siswa takut kalau kebetulan ada jam pelajaran sang guru killer.
Walau pun predikat tersebut kurang baik, tapi Saya yakin pada dasarnya hati sang “guru killer” baik, ingin anak-anak didiknya disiplin, mengikuti pelajaran dengan baik, dan berprestasi, hanya cara mengeskpresikannya terkesan arogan.
Seiring dengan perkembangan zaman, predikat “guru killer” sudah kurang relevan. Yang diperlukan saat ini adalah guru yang humanis, demokratis, tapi tegas dan berwibawa. Caranya adalah dengan memperkuat kompetensi kepribadian. Kompetensi ini merupakan salah satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru selain kompetensi pedagogik, profesional, dan sosial.
Kompetensi kepribadian erat kaitannya dengan sikap, ucapan, dan perbuatan guru ketika mengajar. Hal ini juga berkaitan dengan kematangan emosional guru. Pada pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru disebutkan bahwa indikator dari kompetensi kepribadian seorang guru antara lain : (a) beriman dan bertakwa, (b) berakhlak mulia, (c) arif dan bijaksana, (d) demokratis, (e) mantap, (f) berwibawa, (g) stabil, (h) dewasa, (i) jujur, (j) sportif, (k) menajdi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (l) secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan (m) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Selanjutnya, pada lampiran Permendikbud Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kualifikasi Guru diuraikan Kompetensi Inti Guru dari aspek kompetensi kepribadian guru antara lain: (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (3) menampilkan diri sebagai sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, (4) menunjukkan atos kerja yang tinggi , rasa bangga, dan rasa percaya diri, dan (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Sebagai tenaga profesional, guru harus mengetahui, memahami, menghayati, dan mengamalkan kompetensi kepribadian tersebut. Dalam konteks tindakan kekerasan kepada siswa, penguasaan kompetensi kepribadian menjadi benteng bagi guru untuk terhindar dari tindakan kekerasan terhadap siswa.
Dalam membina siswa, guru harus tegas, berani, berwibawa, dan penyayang. Guru disamping sebagai seorang pengajar dan pendidik, juga harus berperan sebagai orang tua sekaligus teman bagi murid-muridnya. Guru tidak boleh jaim, walau tetap harus menjaga wibawanya. Guru pun harus memiliki hubungan yang dekat dengan siswanya dalam konteks sebagai guru dan murid.
Menurut Saya, tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa siswa lebih banyak disebabkan oleh kurang matangnya kompetensi kepribadian guru. Adalah benar guru juga adalah manusia biasa, yang sewaktu-waktu bisa marah atau emosi, tapi disitulah perlunya pengendalian diri. Konsekuensi sebagai seorang guru, dia harus memiliki kesabaran ekstra dalam mendidik anak didiknya.
Regulasi Perlindungan Guru
Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal (2) disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu, juga diperlukan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual guru mengingat banyak guru yang menulis karya ilmiah dan membuat karya inovatif seperti buku pelajaran, buku referensi, alat peraga atau media pembelajaran, software,aplikasi, dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud harus segera merealisasikan perlindungan guru, agar dalam melaksanakan tugas, guru merasa aman, nyaman, dan tenteram, serta tidak mudah dikriminalisasi.