[caption caption="Sejumlah guru Honorer Kategori 2 (K-2) berunjuk rasa menuntut diangkat menjadi CPNS (Foto : www.fajar.co.id)"][/caption]Tanggal 10 sampai dengan 12 Februari 2016 tenaga honorer kategori 2 (K-2) kembali “mengepung” istana presiden di Jakarta. Aksi mereka dipicu oleh keputusan pemerintah yang menyatakan tidak bisa mengangkat mereka menjadi CPNS disebabkan oleh dua hal, pertama, karena tidak ada dasar hukum untuk pengangkatan tenaga honorer K-2, dan kedua, karena ketiadaan anggaran.
Sebelumnya, pada bulan September 2015, Menpan-RB Yuddy Chrisnandi pernah memberikan “angin surga” kepada tenaga honorer K-2 bahwa mereka akan diangkat menjadi CPNS secara bertahap mulai tahun 2016, tetapi faktanya janji tinggal janji. Pemerintah menyatakan tidak mampu merealisasikan janjinya tersebut. Hal ini tentunya ibarat petir di siang bolong bagi tenaga honorer K-2 yang telah terlanjur geer akan diangkat menjadi CPNS. Sontak mereka pun kecewa sekaligus bersedih atas kenyataan tersebut.
Tenaga honorer K-2 banyak yang telah mengabdi selama belasan tahun dengan honor yang sangat minim dan banyak pula yang telah telah berusia di atas 40 tahun. Ironisnya lagi, guru-guru honorer di sekolah-sekolah negeri tidak memiliki hak untuk mengikuti sertifikasi serta mengajukan Nomor Unit Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) karena tidak memiliki SK pengangkatan dari Bupati/ Walikota.
Ribuan tenaga honorer K-2 dari seluruh Indonesia mendatangi istana presiden di Jakarta dengan harapan dapat bertemu dengan Presiden Jokowi dan menyampaikan harapan dan keluh kesah mereka, tetapi sampai demo berakhir, perwakilan pengunjuk rasa harus menelan pil pahit karena gagal bertemu Jokowi, dan hanya ditemui oleh Menteri Sekretaris Negara, Praktikno. Bahkan pada demo kali ini, dilaporkan ada lima orang pengunjuk rasa yang meninggal akibat sakit dan kecapaian.
Buah Simalakama
Menurut Saya, pengangkatan tenaga honorer K-2 menjadi CPNS ibarat buah simalakama. Dimakan ibu mati, dan jika tidak dimakan bapak mati. Artinya, jika semua tenaga semua honorer K-2 diangkat menjadi CPNS, maka pemerintah akan dinilai melanggar hukum karena belum ada dasar hukumnya, dan juga harus menyiapkan anggaran yang besar untuk menggajinya, sementara pemerintah tidak memiliki anggaran. Justru saat ini pemerintah tengah melakukan berbagai efisiensi anggaran, diantaranya dengan akan membubarkan 14 lembaga negara non-struktural, serta melakukan moratorium pengangkatan CPNS. Sedangkan jika tidak diangkat, pemerintah akan dianggap tidak konsisten dan ingkar janji terhadap tenaga honorer K-2.
De facto, selain ada yang teah berkualifikasi S-1, ada juga guru-guru honorer K-2 yang belum berkualifikasi S-1, sehingga tidak memenuhi persyaratan kualifikasi akademik untuk diangkat menjadi guru. Walau demikian, bukan berarti pengabdian mereka diabaikan begitu saja, karena rata-rata mereka bertugas di daerah terpencil dengan waktu yang cukup lama. Pengabdian mereka perlu dihargai. Ibaratnya, tidak ada rotan akarpun jadi, maksudnya, ketika di sebuah daerah terpencil kekurangan guru, maka yang tidak memenuhi kualifikasi pun tergerak untuk menjadi guru demi mencerdaskan anak-anak bangsa.
Berdasarkan hasil verifikasi Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah tenaga honorer sekitar 439 ribu orang (Elshinta, 14/02/2016). Walau demikian, jumlah tersebut masih harus diverifikasi lebih lanjut untuk menghindari pemalsuan data tenaga honorer K-2. Berdasarkan data Kemendikbud, dalam 15 tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah guru honorer hingga 850 persen. Dari sebelumnya sebanyak 84.600 menjadi sebanyak 812.064 guru honorer. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Daerah dan satuan pendidikan mengangkat guru honorer secara masif dan tanpa perencanaan yang matang. Pertumbuhan guru honorer jauh melebihi pertumbuhan jumlah siswa yang hanya sebanyak 17 persen.
Akar utama permasalahan guru di Indonesia adalah bukan bukan kurangnya jumlah guru, tetapi tidak meratanya persebaran guru. Tahun 2011 telah diterbitkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) lima menteri tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, tetapi realisasinya saat ini tidak jelas karena terkendala berbagai hal utamanya dalam hal teknis dan kebijakan pemerintah daerah yang tidak mendukung SKB tersebut.
Permasalahan tenaga honorer K-2 jika tidak segera diselesaikan akan menjadi bom waktu bagi pemerintah. Oleh karena itu, perlu ada solusi bijak untuk menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya dengan memberikan insentif khusus bagi guru honorer, mengangkat mereka menjadi CPNS dan ditempatkan di daerah terpencil dalam rangka pemerataan jumlah guru, mengangkat mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), atau solusi lainnya agar terjadi win-win solution antara tenaga honorer K-2 dengan pemerintah.