Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Ridwan Kamil “Menampar” Wajah Pendidikan Kita

22 Juli 2015   17:25 Diperbarui: 22 Juli 2015   17:29 563745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu, 22 Juli 2015, Walikota Bandung Ridwan Kamil mem-posting sebuah foto di facebook di mana Kang Emil sapaan akrabnya menghukum seorang pengendara motor yang melanggar lalu lintas dengan menyuruhnya push up. Sontak foto itu mendapatkan ribuan like dan komentar intinya mendukung langkah sang walikota tersebut.

Sepanjang pengetahuan Penulis, baru kali ini ada kepala daerah yang menghukum pelanggar lalu lintas. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk kepedulian Sang Walikota terhadap ketertiban lalu lintas khususnya di Kota Bandung. Selama ini, urusan ketertiban lalu lintas diserahkan kepada polisi. Kalau jalanan macet, yang disalahkan adalah polisi. Padahal di samping tenaga personil kepolisian yang terbatas, juga para pengguna jalan yang tidak tertib dan tidak menaati rambu-rambu lalu lintas. Rambu-rambu lalu lintas yang terpasang di sepanjang jalan bukan dijadikan patokan yang harus taati, tetapi seolah-olah hanya asesoris jalan raya saja.

Di balik hukuman yang diberikan Kang Emil kepada pelanggar lalu lintas yang ternyata seorang sarjana tersebut, ada satu komentarnya yang menarik perhatian Penulis, yaitu Ternyata kepintaran tidak berbanding lurus dengan kedisiplinan sederhana”. Dari komentar tersebut dapat disimpulkan bahwa Walikota Bandung tersebut mengkritisi gagalnya pendidikan dalam membentuk karakter manusia. Sekolah yang tinggi tidak menjamin seseorang memiliki kepribadian atau budi pekerti yang baik.

Komentar Kang Emil tersebut telah “menampar” wajah pendidikan kita yang selalu bangga dengan angka-angka yang tertera pada raport atau IPK. Kadang orang tua merasa bangga kalau nilai raport atau IPK anaknya sangat baik atau cumlaude, tetapi kurang memperhatikan bagaimana sikap, perilaku, tutur kata, dan sopan santunnya ketika bergaul di rumah, sekolah, atau di lingkungan sekitar.

Pendidikan Indonesia terlalu cognitive minded alias berorientasi kepada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan psikomotornya kurang diperhatikan. Dampaknya, banyak orang yang pintar, tapi korupsi, suka melakukan plagiarisme, suka berkata-kata kotor, berperilaku tidak sopan, egois, emosional, tempramental, suka buang sampah sembarangan, suka melanggar lalu lintas, dan berbagai perilaku buruk lainnya.

“Tamparan” Ridwan Kamil tersebut perlu menjadi sarana introspeksi bagi para pemangku kepentingan pendidikan mulai dari tingkat paling tinggi sampai paling rendah untuk memperbaiki orientasi pendidikan. Menurut Driyarkara, hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Sepanjang manusia belum menjadi manusia seutuhnya, berarti pendidikan belum berhasil mencapai tujuannya.

Pendidikan adalah proses internalisasi nilai-nilai kebaikan kepada manusia agar dia menjadi manusia yang beradab, taat pada norma dan hukum, disiplin, memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki moralitas dan budi pekerti yang baik. Pendidikan berlangsung dari mulai lingkup yang kecil seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti, berlangsung sepanjang seorang manusia hidup di muka bumi. Dalam proses mendidik, hal yang perlu diperhatikan adalah perlu adanya keteladanan orang tua, guru, pemimpin, aparat pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat secara umum.

Kurikulum 2013

Tahun 2013 Kemdikbud meluncurkan Kurikulum 2013 dimana kurikulum ini lebih menekankan kepada aspek sikap peserta didik. Peserta didik bukan hanya diarahkan memiliki pengetahuan yang keterampilan yang mumpuni tetapi juga memiliki sikap yang mantap. Sikap ini kaitannya dengan sikap spiritual yaitu seorang peserta didik menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Sementara sikap sosial adalah bagaimana seorang peserta memiliki kepribadian yang baik, seperti peduli dan mau membantu terhadap kesusahan orang, berjiwa toleran, mau bergotong royong, mau bekerja sama, menghormati perbedaan pendapat, jujur, disiplin, taat hukum,  sopan, santun, mau berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain, mencintai lingkungan, dan sebagainya.

Penguatan sikap harus diawali dari lingkungan keluarga sebagai lingkungan yang paling kecil. Misalnya, ketika ingin menanamkan sikap taat berlalu lintas kepada anak, orang tua jangan mengizinkan anaknya yang belum cukup umur dan belum memiliki SIM untuk mengendarai sepeda motor, memberikan contoh tertib berlalu lintas, dan sebagainya. Lalu pihak sekolah dan Pemerintah/ Polri/ masyarakat melaksanakan pendidikan lalu lintas bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat. Dengan demikian, maka kasus pelanggaran sebagaimana yang diposting oleh Ridwan Kamil tersebut diharapkan tidak akan terulang lagi. Semoga...!!!

*) Keterangan Gambar: Walikota Bandung Ridwan Kamil menyuruh push up seorang pengendara motor yang melawan arus di jalan raya. (Foto : www.infobdg.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun