Idul fitri adalah momen dimana manusia, khususnya umat Islam kembali kepada kesucian setelah sebulan lamanya diri menempa diri berpuasa, menahan lapar, dahaga, syahwat di siang hari, amarah, dan membakar dosa-dosanya sehingga ketika idul fitri seorang yang telah berpuasa ibarat bayi yang baru lahir atau seperti kertas putih, tanpa noda. Idul Fitri menjadikan manusia kembali ke titik nol. Titik dimana manusia mengawali “kehidupannya” yang baru. Dan tentunya di “kehidupannya” yang baru tersebut, spirit ramadhan tetap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Idul fitri atau disebut juga lebaran merupakan sarana bagi sesama muslim untuk saling bermaaf-maafan terhadap kesalahan yang pernah dilakukannya. Momen itu terasa sangat indah dan damai. Pintu maaf terbuka. Begitu mudahnya lisan mengucap kata maaf. Dengan kata lain, kata maaf benar-benar “diobral” pada saat lebaran. Lebaran juga diisi dengan kunjungan kepada orang tua, tetangga, dan sanak saudara. Tujuannya untuk bersilaturahmi juga untuk saling memaafkan.
Dalam perspektif Sunda, lebaran juga dalam diidentikkan dengan kata lubaran. Dalam kamus bahasa Sunda, lubaran berasal dari kata lubar yang artinya (1) bubar, (2) habis, dan (3) hilang. Oleh karena itu, lebaran merupakan momen yang tepat untuk lubaran atau silih lubarkeun (saling membubarkan) dosa, dendam, dan kesalahan. Masing-masing pihak saling berlapang dada memaafkan, mengakhiri konflik yang telah berlangsung sekian lama. Dampak dari lubaran saat lebaran terciptanya masyarakat yang harmonis dan damai. Masyarakat yang silih asih (saling menyayangi), silih asah (saling menajamkan pengetahuan, kemampuan, atau keterampilan), silih asuh (saling mengayomi atau mendidik), dan silih wangikeun (saling memajukan).
Saat lebaran, di kalangan pejabat dikenal adanya istilah open house yang intinya memberikan kesempatan kepada warganya untuk datang bersilarahmi. Lalu di masyarakat pun di kenal istilah halal bi halal yang artinya saling menghalalkan atau memaafkan kesalahan antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia selain sebagai seorang individu, juga sebagai seorang makhluk sosial. oleh karena itu, ketika manusia berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain mungkin menyinggung perasaan orang lain. Ketika ada masalah dengan orang lain, kadang dampaknya jadi berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh ego atau gengsi masing-masing yang tidak mau mengalah atau berdamai. Hal inilah yang merusak silaturahmi, persaudaraan, atau persahabatan.
Orang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah, tetapi ketika berbuat salah, menyadari kesalahannya, segera meminta maaf, dan memperbaiki kesalahannya tersebut. Keengganan untuk meminta maaf, selain karena ego, juga karena rasa malu, takut permohonan maafnya tidak diterima, atau takut dipermalukan oleh pihak yang dimintai maaf.
Sebuah kata-kata bijak mengatakan bahwa “seribu teman terlalu sedikit, sedangkan satu musuh terlalu banyak.”. Hal itu menandakan bahwa kita harus banyak memiliki teman, harus banyak menjalin tali silaturahmi dan persaudaraan, serta menghindari konflik antarsesama manusia. Salah satu caranya adalah dengan saling memaafkan.
Sedendam atau sebenci apapun seseorang, orang biasanya hatinya suka tersentuh kalau ada yang meminta disertai dengan penyesalan yang mendalam terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Sifat pemaaf sangat dianjurkan oleh agama. Salah satu sifat Allah SWT adalah Maha Pemaaf. Oleh karena itu, manusia pun sebagai makhluk-Nya perlu memiliki sifat pemaaf. Alangkah sombongnya ketika seorang manusia tidak mau memaafkan kesalahan orang lain.
Maaf adalah kata sederhana yang mampu mengubah dendam menjadi kasih sayang, konflik menjadi damai, dan membuat silaturahmi yang renggang bahkan terputus menjadi rekat kembali. Maaf adalah kata yang mampu menyehatkan. Seorang pemaaf biasanya wajahnya ceria, hatinya bebas, tidak dibebani oleh pikiran-pikiran negatif yang membuat hatinya menjadi sakit. Hati yang memendam dendam biasanya berdampak terhadap kesehatan jiwanya adan badannya. Dia akan mudah untuk jatuh sakit. Oleh karena itu, maaf memiliki manfaat terhadap kesehatan fisik dan mental.
Lebaran bukan hanya hanya sebatas ritual yang dilakukan sebagai tanda berakhirnya bulan ramadhan, tetapi harus dijadikan sebagai sarana lubaran alias saling memaafkan. Mari jadikan lebaran sebagai sarana untuk merekatkan kembali tali silaturahmi yang sudah lama terputus. Mari kita menjadi manusia-manusia yang mampu mengambil pelajaran dari lebaran.