Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Mendengar

6 Mei 2014   20:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1399390256496540058

[caption id="attachment_335029" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Pagi itu, datang kepada Saya seorang teman. Dengan wajah yang muram dia mengatakan bahwa dia berkeinginan untuk pindah kerja karena sudah merasa tidak betah bekerja di tempat kerjanya sekarang. Yang membuatnya tidak betah bukan masalah materi, tetapi suasana kerja yang tidak kondusif. Dia mengaku selama ini merasa cukup dengan penghasilannya tapi dia merasa kurang diberdayakan oleh pimpinan, rekan-rekan kerjanya juga underestimate bahkan kadang suka melecehkannya di depan umum. Gagasan atau pendapat yang disampaikannya pada rapat-rapat kurang dianggap. Oleh karena itu, dia merasa inferior, rendah diri, tidak berguna. Jika dia tetap bertahan di kantornya saat ini, batinnya akan terus tersiksa dan karirnya terancam tidak akan berkembang.

Dia mengaku bahwa sejak tahun yang lalu dia telah mengurus usulan kepindahannya, dia telah mendapatkan lolos butuh dari tempat kerja baru yang akan dituju, tapi dia terkendala izin pindah dari atasannya. Atasannya tidak mengizinkan dia pindah kerja dengan alasan karena kantor juga masih butuh pegawai. Akibat proses kepindahannya yang menggantung, dia mengaku saat ini motivasi kerjanya rendah. Dia masuk kerja, tapi masuk ke ruang kerja baginya adalah horor karena pasti akan bertemu dengan rekan-rekan kerjanya yang antipati padanya apalagi ada seniornya yang selalu menghardiknya dengan kata-kata kasar. Harga dirinya merasa tercabik-cabik. Suatu saat dia merasa kesal, pernah nekat ingin melakukan tindak kekerasan kepada seorang teman yang suka mengolok-oloknya tapi beruntung masih dihalangi oleh temannya yang lain.

Dia mengaku bahwa selama ini dia kalau diberi tugas, dia melaksanakannya sampai tuntas, tapi kurang dihargai baik oleh pimpinannya maupun rekan-rekan kerjanya. Dia mengakui bahwa dia dulu memang kinerjanya kurang baik, lamban, dan kalau diberi tugas dikerjakan tidak sampai tuntas. Dia mengaku ingin memperbaiki diri, tapi ketika dia ingin melakukannya, stigma negatif terlanjur melekat pada dirinya. Pimpinan dan rekan-rekan kerjanya tidak mau menghargai usahanya tersebut. Mereka tetap menganggapnya sebagai staf yang kinerjanya rendah dan kurang memuaskan. Sehingga dia pun akhirnya menjadi apatis dan ingin pindah tempat kerja. Di tempat kerja yang baru dia berharap akan mendapatkan suasana baru, bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Yang paling diharapkannya saat ini adalah atasannya mengizinkannya untuk pindah kerja.

Dia mengaku bahwa sulit mencari orang yang mau mendengar dan memahami apa yang dia rasakan saat ini. Kalau pun mendengarkan keluhannya, tapi responnya kurang serius bahkan cenderung menyepelekan. Lebih banyak menghakimi dan menyalahkannya daripada memberi saran.

Saya mendengarkan dengan seksama, mencermati setiap apa yang dia katakan, tidak memotong pembicarannya. Membiarkan dia bicara sampai puas menumpahkan semua unek-uneknya. Di akhir curhatnya, dia meminta do’a agar semua urusannya lancar sekaligus saran apa yang seharusnya dia lakukan.

Menindaklanjuti permintaanya tersebut, Saya memberikan saran yang menurut Saya baik, meskipun belum tentu itu yang terbaik dan dapat menjadi solusi, tetapi setidaknya hal tersebut dapat sedikit meringankan beban pikirannya. Dia merasa plong, tampak sumringah setelah menyampaikan curhatnya dan mendengar saran dan do’a dari Saya. Dia mengucapkan terima kasih lalu bergegas pergi.

Kekuatan Mendengarkan

Pelajaran bagi Saya dari hal tersebut adalah tampak sangat luar biasa kekuatan mendengarkan. Mendengarkan (menyimak) dengan seksama dapat menjadi indikator bahwa kita menghargai, memperhatikan, dan berempati kepada lawan bicara. Menyimak dengan baik setiap pembicaraan lawan bicara adalah tanda orang yang memiliki etika yang baik. Mendengarkan secara empatik dapat menjadi obat untuk meringankan dari keluh-keluhan lawan bicara.

Allah SWT menciptakan satu mulut dan dua telinga. Hal itu menandakan bahwa manusia harus sering mendengar daripada berbicara. Pemimpin dan wakil rakyat harus lebih banyak mendengar aspirasi rakyatnya. Orang tua harus banyak mendengar keinginan anaknya, guru harus mendengarkan keinginan atau keluhan peserta didiknya.

Fakta yang saat ini terjadi adalah orang lebih banyak ingin didengar daripada mendengar. “Tolong dengarkan mama…, tolong dengarkan papa….,” kata orang tua kepada anaknya. “Tolong dengarkan penjelasan atau pidato Saya, jangan ribut” kata guru atau pimpinan kepada murid-muridnya. Komunikasi berjalan satu arah, pihak yang lebih superior lebih ingin mendominasi pembicaraan, kurang memperhatikan apakah lawan bicara berkenan atau tidak dengan apa yang dibicarakannya.

Kadang dalam sebuah dialog orang ingin lebih mendominasi pembicaraan, bahkan suka memotong pembicaraan orang lain. Ada anggapan bahwa orang yang banyak bicara mencerminkan lebih pintar atau lebih menguasai permasalahan. Padahal belum tentu. Pribahasa mengatakan “tong kosong nyaring bunyinya”, “air beriak tanda tak dalam”. Hal itu menunjukkan bahwa ada orang yang banyak bicara tapi isinya tidak berbobot.

Di tengah menjamurnya gadget dan smartphone saat ini budaya menyimak semakin luntur. Ketika orang-orang berkumpul, mereka sibuk dengan gadget dan smartphone nya. Ketika ada orang bicara, mungkin dia mendengar tapi kurang menyimak karena dia membagi perhatian dengan aktivitasnya dunia maya. Kadang orang lebih asyik berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Dekat tapi jauh, jauh tapi dekat. Dalam sehari semalam tidak terhitung berapa kali orang update atau mengecek statusnya di media sosial. Ada kalanya dia lebih akrab berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya.

Bahasa tubuh orang yang menyimak pembicaraan lawan bicara dengan baik adalah tatapan matanya fokus tertuju ke mata lawan bicara, mengangguk sebagai tanda setuju terhadap apa yang disampaikan lawan bicara, mimik muka yang disesuaikan dengan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara, menanggapi pembicaraan lawan bicara secara proporsional, dan memberikan penguatan terhadap apa yang disampaikannya.

Dalam sebuah dialog sering terjadi perdebatan bahkan sampai memanas hal ini disebabkan karena masing-masing pihak tidak mau saling mendengar, maunya didengar, merasa diri paling benar kurang menghargai pendapat orang lain. Pada akhirnya dialog tersebut buntu, tidak menemui kata sepakat, hanya manguras waktu dan energi.

Dalam konteks pelayanan publik, lembaga atau petugas pelayanan publik harus mau mendengar setiap keluhan pelanggan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Makanya, pada lembaga atau perusahaan tertentu ada semacam customer care atau kotak saran. Lembaga pelayanan publik yang mau mendengar dan menindaklanjuti keluhan pelanggan akan banyak disukai oleh pelanggan dan berkembang dengan pesat.

Mendengar, sebuah aktivitas sederhana tapi berdampak sangat baik dalam membangun relasi sosial yang positif antarmanusia. Orang yang mau mendengar identik dengan orang yang memiliki karakter baik, simpatik, dan empatik. Tipe-tipe orang seperti itu yang saat ini banyak disukai tapi sayangnya semakin langka. Orang yang berjiwa pendengar adalah orang sabar, memilki soft skill yang baik karena aktivitas mendengar itu kadang membosankan apalagi kalau yang datang padanya bukan orang yang curhat tapi yang ngomel-ngomel komplen. Semoga kita semua bisa mengasah diri kita menjadi pendengar yang baik. Mari membudayakan diri untuk mau mendengar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun