Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadikan Kelas Sebagai Laboratorium Demokrasi

24 September 2014   16:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:42 3990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru adalah sosok utama yang menjadi lokomotif pembelajaran. Kualitas dan efektivitas sebuah pembelajaran sangat tergantung dari bagaimana guru mendesain dan melaksanakan pembelajaran.

Proses pembelajaran yang menarik salah satunya dapat dilihat dari bagaimana respon peserta didik selama pembelajaran. Ketika peserta didik aktif terlibat dalam pembelajaran, bertanya, berdiskusi, presentasi dapat katakan pembelajaran tersebut menarik. Sebaliknya, ketika suasana pembelajaran berjalan fasif, peserta didik diam, melakukan aktivitas lain, tidak memperhatikan penjelasan guru, banyak mengantuk, dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran kurang menarik. Hal ini tentunya kembali kepada penampilan gurunya.

Setiap guru memiliki karakter dan gaya mengajar yang berbeda-beda. Penampilan dan gaya mengajar guru tentunya akan mendapatkan perhatian dan penilaian peserta didik. Dimata peserta didik, biasanya dikenal dua sosok guru, yaitu guru yang baik dan guru yang galak atau disebut juga guru killer. Guru yang baik identik dengan guru yang cara mengajarnya bagus, mudah dipahami, tidak kaku, tidak pelit memberi nilai, berakhlak baik, murah senyum, mau mendengar pendapat dan keluhan peserta didik, dan mau menjawab pertanyaan peserta didik. Setiap peserta didik akan merasa nyaman jika belajar dengan guru tipe tersebut.

Guru galak atau guru killer adalah kebalikan dari guru baik. Biasanya identik dengan guru yang kaku, tidak suka senyum, suka marah-marah, pelit memberi nilai, mau menang sendiri, suka menyalahkan peserta didik, suka mengintimidasi, dan sebagainya. Peserta didik tentunya akan merasa tidak nyaman, dan merasa tertekan belajar dengan guru tipe tersebut. Guru yang baik akan dikenang karena karena kebaikanny. Begitupun guru yang yang galak akan dikenang karena kegalakannya.

Baik atau buruknya gaya mengajar guru tentunya akan berdampak terhadap motivasi belajar peserta didik. Hasil penelitian Riani Khuzaimah (2011) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara gaya mengajar guru dan motivasi belajar peserta didik terhadap prestasi belajar peserta didik.

Kadang label guru baik atau guru galak atau killer tidak lepas dari pencitraan atau labelling kepada guru tersebut. Kadang guru disiplin dan tegas dicitrakan sebagai guru galak, padahal ketegasannya bertujuan untuk mendidik. Tapi walaupun demikian, memang suka ada guru yang memang karakternya tempramen sehingga muncullah kasus-kasus kekerasan terhadap peserta didik.

Kegiatan belajar bisa berlangsung baik di dalam kelas maupun luar kelas. Bahkan kurikulum 2013 mendorong agar kegiatan pembelajaran bukan hanya dilakukan di dalam ruang kelas, tetapi juga luar kelas, memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dan benda-benda yang ada di sekelilingnya sebagai media pembelajaran.

“Laboratorium Demokrasi”

Dalam konteks pendidikan demokrasi, ruang kelas baik dalam artian ruang kelas secara fisik maupun ketika belajar di luar ruangan dapat menjadi dirancang menjadi “laboratorium demokrasi”. Kelas sebagai “laboratorium demokrasi” memiliki karakter dimana guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya, menyampaikan pendapat, memiliki perpektif berbeda dengan temannya atau pun dengan guru.

Guru yang menjadikan ruang kelas sebagai laboratorium demokrasi akan mendorong setiap peserta didik untuk berpikir kritis, menelaah, menganalisis, sampai menemukan sendiri jawaban atau kesimpulan dari berbagai permasalahan yang disampaikan oleh guru atau masalah yang diidentifikasinya sendiri. Demokrasi di sini bukan hanya identik dengan mata pelajaran PPKn tetapi setiap mata pelajaran pada dasarnya bisa mengembangkan budaya demokrasi. Demokrasi erat kaitannya dengan toleransi, saling menghargai, dan menghormati keberagaman.

Kelas yang dibentuk menjadi “laboratorium demokrasi” akan berkontribusi dalam membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik, kritis, bertanggung jawab, memahami hak dan kewajibannya. Guru sangat disarankan untuk menarapkan model pembelajaran kooperatif karena melalui model tersebut, para peserta didik dapat saling berinteraksi dan bekerja sama dengan teman-temannya dalam menyelesaikan masalah.

Sesuai dengan amanat kurikulum 2013, model pembelajaran yang disarankan digunakan oleh guru yaitu pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), penyelesaian masalah (probem solving), dan menemukan (discovery/ inquiry). Metode yang bisa digunakan antara lain ceramah, tanya jawab, diskusi, bermain peran (role play), debat, atau metode lain yang relevan.

Dalam ruang kelas yang didesain sebagai “laboratorium demokrasi”, peran guru hanya sebagai fasilitator, mengatur dan membimbing jalannnya diskusi antarpeserta didik serta menjadi wasit ketika terjadi perbedaan pendapat diantara peserta didik. Pada saat akhir pembelajaran, guru melakukan penguatan, mengajak siswa menyimpulkan dan melakukan refleksi.

Membelajarkan demokrasi perlu sejak dini dilakukan karena salah satu cita-cita reformasi adalah membentuk masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis akan mendukung terhadap terwujudnya madani. Masyarakat madani (civil society) adalah masyarakat yang beradab, menghargai nilai-nilai kemanusian, menghargai perbedaan pendapat, menghargai keberagaman (fluralisme), dan toleran.

Kehidupan demokrasi Indonesia saat ini memang telah banyak kemajuan, tetapi kadang demokrasi diartikan secara salah kaprah dan dijalankan kurang disertai rasa tanggung jawab dan mengenyampingkan Pancasila dan UUD 1945.

Masyarakat belum dewasa dalam berdemokrasi. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan pendapat kadang menyebabkan konflik dan perpecahan baik antarelit politik, pemimpin, maupun di kalangan masyarakat secara umum. Padahal sejatinya, inti dari demokrasi Pancasila adalah kemufakatan bersama dalam pengambilan keputusan untuk kebaikan bersama.

Suasana belajar yang demokratis tentunya perlu diawali oleh guru yang mampu menampilkan pribadi yang demokratis. Guru yang demokratis adalah sosok guru yang memberikan kesempatan menyampaikan pendapat kepada peserta didik, mampu menghargai setiap pendapat peserta didik, mampu menjadi pendengar yang baik, berani menerima kritik dan menyikapinya dengan bijak, mengapresiasi prestasi yang dicapai peserta didik, dan mampu menjadi figur teladan bagi peserta didik. Semoga dengan adanya kelas sebagai “laboratorium demokrasi”, peserta didik terbiasa untuk menyampaikan pendapat, mampu berpikir kritis, analitis, dan reflektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun