Kemacetan Jakarta sudah bagaikan penyakit yang sudah kronis yang sudah tak bisa lagi disembuhkan. Namun, meski pun demikian harusnya minimal Anies mampu menguranginya.
Analoginya, jika kita sakit sudah parah dan diponis oleh dokter, minimal kita tetap berusaha berobat untuk mengurangi rasa sakit itu, bukan malah berhenti berusaha  berobat seperti menikmati rasa sakit itu sendiri hingga akhirnya kita mati dalam kesakitan.
Maksud dari analogi di atas, harusnya Anies mengurangi kemacetan Jakarta yang sudah dari dulu macet. Bukan malah memperparah kemacetan gara-gara dilakukannya revitalisasi trotoar.
Warga tersebut bernama Ledi. Ia mengatakan, dirinya merasa transportasi umum yang ada di Jakarta saat ini belum tersedia dengan jumlah memadai. Selain itu, saat ia mengganti moda transportasi lain, hal yang dikeluhkan adalah macetnya jalanan Jakarta yang tidak kunjung usai.
"Saya kerja hampir tiap hari naik transportasi umum Pak. Saya naik busway tapi lama nunggunya. Naik Go-Jek sama Grab juga macet lama," ucap keluh Ledi, Minggu, 9 Oktober 2016.
Untuk menjawab keluhan sang warga, Anies mengatakan bahwa volume kendaraan di DKI Jakarta saat ini tergolong tinggi sehingga menimbulkan kemacetan.
"Kenapa macet? Jumlah kendaraan di jalanan terlalu banyak dibanding panjang jalan yang nggak sama. Sekarang kalau di gang orang banyak juga Bu. Sekarang tanggung jawab kita mengurangi jumlah kendaraan di jalan supaya enggak terjadi kemacetan," Ujar Anies, Minggu, 9 Oktober 2016.
Jawaban yang diutarakan terkait keluhan tersebut ia akan membuat program transportasi umum yang dapat terjangkau dan nyaman di DKI Jakarta.
"Angkutan umum dibuat berubah. Nyaman, harga terjangkau. Kalau nyaman tapi mahal enggak ada yang naik juga. Kalau murah tapi enggak nyaman, enggak ada yang mau naik juga. Programnya meningkatkan kualitas transportasi," lanjutnya.
Dalam janji kampanyenya Anies beranggapan bahwa untuk mengurangi kemacetan ia harus mengurangi volume transportasi pribadi dan menambah transportasi publik. Namun, kita sadari pada kenyataannya hal itu tak pernah ia lakukan alhasil transportasi pribadi tetap saja memadati ibu kota.Â