Munculnya media sosial telah mengubahnya menjadi platform utama bagi siapa saja yang ingin berbagi cerita, menciptakan komunitas, atau mengejar peluang penghasilan. Namun, di balik kisah-kisah yang mengharukan, lucu, atau menginspirasi, muncul tren kontroversial yakni penceritaan yang menipu atau storytelling palsu. Narasi-naratif ini, meskipun menghibur atau menggema secara emosional, sering kali dirancang untuk menarik perhatian, menghasilkan keuntungan, atau mendapatkan pengakuan. Hal ini membuat kami bertanya-tanya: apa yang mendorong orang mengarang cerita ini? Apakah ini sekadar pendekatan kreatif atau indikasi perlunya validasi?
Peran 'Storytelling' dalam Era Digital
Bercerita adalah cara berkomunikasi yang abadi dan efektif. Di media sosial, efektivitas ini meningkat karena algoritme biasanya mempromosikan konten yang membangkitkan emosi. Cerita yang menyentuh, menginspirasi, atau kontroversial kemungkinan besar akan populer di dunia maya. Di sinilah sering muncul keinginan untuk membuat cerita yang menyesatkan: semakin populer cerita Anda, semakin besar peluang untuk mendapatkan imbalan, baik dalam bentuk uang, barang gratis, atau sekadar menambah jumlah like dan followers.
Sayangnya, narasi palsu tersebut seringkali memanipulasi empati individu. Misalnya, ada kalanya seseorang mengaku menderita penyakit serius dan meminta sumbangan, namun belakangan terungkap bahwa ia tidak jujur. Demikian pula, ada kisah-kisah kesulitan yang sebenarnya dipinjam dari kehidupan orang lain tanpa persetujuan mereka.
Storytelling Palsu: Strategi Bisnis atau Tindakan Tidak Etis?
Pembuat konten tertentu mungkin menganggap storytelling palsu sebagai bagian dari keahlian pemasaran. Dalam lanskap bisnis, cerita yang kuat sangat penting untuk penjualan produk dan personal branding. Namun, jika narasinya tidak jujur, maka akan menimbulkan pertanyaan etis. Bolehkah memanipulasi fakta untuk membangun hubungan emosional dengan penonton, atau apakah hal itu membahayakan kepercayaan mereka?
Ada kalanya narasi yang menipu secara mengejutkan dapat meningkatkan reputasi suatu merek. Misalnya, sebuah video menunjukkan seseorang tampak menyelamatkan hewan liar, namun keseluruhan skenario sebenarnya dibuat-buat. Meskipun cerita tersebut mungkin diterima secara emosional oleh penonton, fakta bahwa cerita tersebut palsu menimbulkan pertanyaan penting tentang integritas penciptanya.
Media Sosial dan Budaya Validasi
Kebutuhan akan validasi sosial adalah elemen lain yang memicu fenomena penyampaian cerita palsu. Di dunia yang didorong oleh media sosial saat ini, metrik suka, komentar, dan berbagi sering kali dianggap sebagai ukuran nilai pribadi. Peningkatan interaksi dapat membuat seseorang tampil lebih "berharga" di ranah digital. Hal ini terutama berlaku bagi generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan budaya online.
Mengarang cerita dapat dengan cepat memberikan validasi yang dicari seseorang. Misalnya, seseorang mungkin mengarang narasi dramatis tentang pengalamannya di tempat kerja atau di sekolah untuk menarik simpati dan perhatian. Ketika perhatian ini muncul, mereka merasa diakui, meskipun itu berarti mengarang cerita yang tidak sepenuhnya benar.