Sekolah harus menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi perkembangan siswa. Sayangnya, kekerasan fisik dan psikis masih terjadi di lingkungan pendidikan. Ironisnya, meski peraturan telah diterapkan, permasalahan mendasar yang melatarbelakangi kekerasan ini seringkali terabaikan. Mengapa peraturan yang dipikirkan dengan matang ini sering kali tidak tepat sasaran? Apakah ada metode yang lebih baik yang bisa kita jelajahi?
Masalah yang Berakar pada Budaya dan Struktur
Peraturan sering kali terbukti tidak efektif karena hanya fokus pada gejala dan bukan masalah mendasar. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan tidak hanya berkaitan dengan individu yang bermasalah saja, namun juga berakar pada budaya dan struktur sistem pendidikan itu sendiri.
Contohnya adalah masih kuatnya budaya hierarki di banyak sekolah sehingga menimbulkan disparitas kekuasaan yang berujung pada kekerasan. Guru yang bertindak sebagai figur otoritas, terkadang percaya bahwa mereka berhak menggunakan taktik kekerasan untuk "mendisiplinkan" siswanya. Di sisi lain, siswa senior seringkali menggunakan statusnya untuk menindas siswa junior dalam praktik inisiasi yang dianggap "tradisi".
Sayangnya, banyak peraturan yang menargetkan pelaku kejahatan tanpa mempertimbangkan keadaan yang menyebabkan perilaku mereka. Ketika seorang guru atau siswa disiplin, seringkali permasalahan inti tetap tidak terselesaikan. Hal ini menyebabkan jenis pelanggaran yang sama muncul kembali dalam bentuk yang baru.
Regulasi Tanpa Implementasi Nyata
Meskipun peraturan mengenai kekerasan di sekolah tampak menjanjikan di atas kertas, penerapannya seringkali tidak memadai. Misalnya saja Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lembaga pendidikan. Peraturan ini mengatur tata cara pelaporan dan penyelesaian kasus kekerasan. Namun dalam praktiknya, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena takut korban akan stigma atau karena pihak sekolah mengabaikan laporan tersebut.
Peraturan mungkin bersifat aktif, namun sering kali hanya menanggapi permasalahan dibandingkan secara proaktif mencegahnya. Kasus kekerasan baru biasanya baru ditangani setelah terungkap. Sangat disayangkan bahwa upaya preventif seperti meningkatkan empati, komunikasi yang sehat, dan manajemen konflik tidak mendapat prioritas yang diperlukan.
Apa yang Bisa Dilakukan? Gagasan untuk Menyentuh Akar Masalah
Untuk benar-benar memerangi kekerasan di lingkungan pendidikan, kita memerlukan pendekatan yang lebih luas. Berikut beberapa konsep yang bisa diterapkan:
- Mengubah Budaya Sekolah
Mengubah budaya yang mendorong kekerasan menjadi budaya yang menghargai inklusivitas dan empati sangatlah penting. Proses ini dapat dimulai dengan sesi pelatihan bagi guru dan staf sekolah tentang pentingnya membina komunikasi positif dan mengelola konflik tanpa menggunakan kekerasan. Sekolah juga harus menerapkan kode etik yang jelas yang mewakili nilai-nilai tersebut. - Pendidikan Sosial dan Emosional untuk Siswa
Integrasi pembelajaran sosial dan emosional (SEL) ke dalam kurikulum adalah penting. Hal ini memungkinkan siswa untuk lebih memahami dan mengelola perasaannya, sekaligus menumbuhkan empati terhadap orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa SEL dapat mengurangi kekerasan dan sekaligus meningkatkan prestasi akademik di kalangan siswa. - Memperkuat Keterlibatan Komunitas
Kekerasan sering kali menunjukkan tantangan mendasar yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk bekerja sama dengan orang tua, LSM, dan pemerintah daerah untuk membangun lingkungan yang mendorong perkembangan siswa yang sehat. - Penggunaan Teknologi untuk Pencegahan Kekerasan
Teknologi menawarkan alat yang berharga untuk mendeteksi dan mencegah kekerasan. Contoh yang baik adalah penciptaan platform pelaporan digital yang memungkinkan siswa melaporkan kekerasan secara anonim. Data yang kami kumpulkan dapat dianalisis untuk mengungkap pola dan membantu kami menghindari situasi serupa di masa depan. - Fokus pada Pemulihan, Bukan Hanya Hukuman
Metode restoratif, yang melibatkan fasilitasi percakapan antara pelaku dan korban untuk mencapai penyelesaian bersama, dapat menjadi alternatif yang bagus untuk tindakan hukuman standar. Pendekatan ini tidak hanya membantu menyelesaikan konflik namun juga memungkinkan para pelaku memahami dampak dari tindakan mereka dan memberi mereka kesempatan untuk melakukan reformasi.
Kesimpulan: Regulasi yang Berakar pada Empati
Penetapan peraturan merupakan langkah awal yang penting, namun tidak cukup hanya mengandalkan penegakan hukum saja. Untuk mengurangi kekerasan dalam lingkungan pendidikan secara efektif, kita perlu mengatasi akar masalahnya: budaya, sistem, dan keterbatasan yang menghambat perkembangan sosial-emosional siswa dan guru. Dengan menerapkan pendekatan yang lebih holistik dan empati, kita dapat menciptakan ruang belajar yang aman dan mendukung kemajuan semua orang.
Pendidikan tidak boleh menjadi tempat di mana kekerasan diterima sebagai sebuah norma. Sebaliknya, hal ini harus menjadi instrumen yang ampuh untuk membentuk generasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Jika peraturan kita dapat mencerminkan tujuan ini, kita dapat mengharapkan masa depan pendidikan yang lebih manusiawi dan progresif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H