Salam kompasianer, Ini adalah tulisan pertama saya yang saya publikasikan di kompasiana ini. Jadi mohon maaf bila ada kata2 yang salah atau semacamnya. (Typo, dll) yah, saya seorang anak SMA yang masih bersekolah di salah satu SMA di Jakarta. Mungkin di tulisan saya ini ada banyak yang enggak setuju atau berbeda pendapat, jadi mohon maaf bila ada yang enggak setuju toh namanya juga pendapat. Di tulisan pertama saya ini saya mau nulis artikel tentang pendidikan Indonesia di mata saya, mungkin mewakili juga kata2 beberapa teman saya. Mungkin udah banyak yang nemu artikel tentang hal yang sama juga. Jadi saya menulis ini dari sudut pandang seorang siswa yang sedang menjalani pendidikan di negara ini. (yah, mungkin jadinya kaya curhatan anak SMA hehe). Mungkin ini agak panjang semoga tidak membosankan. Selamat membaca.
Hal pertama yang ingin saya soroti adalah masalah “NILAI”. Iya, nilai. Sebuah angka yang terpampang dikertas hasil ulangan ataupun tugas kami para siswa yang entah kenapa menjadi masalah besar ke kami nantinya jika tidak memenuhi KKM atau standar. Menurut pengalaman saya selama ini, sistem pendidikan indonesia ini terlalu memberatkan kami dalam hal nilai akademik. Kami hanya dilihat dari sudut pandang itu saja. Seolah2 jika nilai kami bagus dapat dipastikan bahwa kami dapat sukses dimasa depan dan jika nilai kami jelek maka kami akan jadi manusia suram, tanpa masa depan atau apalah itu(?). Memang, materi2 sekolah yang dipelajari ada yang nanti dipakai saat bekerja, itupun jika siswa memang memilih pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, namun tidak semuanya dipakai kan? Tidak semua orang dilahirkan dengan kemampuan yang sama di setiap bidang. Semua orang mempunyai bakat masing2. Memang orang yang tidak berbakat dalam bidang tertentu sekalipun jika dilatih terus menerus akan bisa mengerti juga. Namun, apakah dia menikmati hal tersebut? Padahal dia bisa melakukan hal lain yang dia suka dan tentu ia cepat menguasainya. Yang saya maksudkan disini adalah: kami terlalu dipaksa untuk menguasai seluruh materi secara bersamaan, nilai bagus disetiap ujian. Dengan “NILAI” tersebut yang jadi pedoman utamanya. Efeknya pada kami? Banyak. Ada yang akhirnya memakai cara curang pas ujian, (nyontek, dll) demi “NILAI” tersebut. Ada yang tetep jujur, terus akhirnya nilainya jelek, berujung ke: dimarahin guru, dimarahin orang tua, bahkan ada yang bunuh diri. Berarti di otak kami benar2 terdoktrin kalo nilailah yang terpenting. Bayangin aja: Nilai Jelek = mati? Yakali.. Masih banyak hal berguna lain yang bisa kami lakukan meskipun tanpa “NILAI” tersebut. Sayang kalo gua bunuh diri gara2 nilai jelek doang. Jadikanlah nilai tersebut hanya sebagai pedoman saja untuk dilihat progres masing2 anak itu bagaimana dari waktu ke waktu. Jangan dijadikan pedoman atau acuan untuk menilai masa depan kami seenaknya. Seringkali ada anak yang sudah belajar serius, namun nilainya masih jelek. Dan apa komentar kebanyakan orang tua dan guru? “Kalo udah belajar harusnya nilainya bagus dong.” Ya, seperti itulah, mau usaha sekeras apapun jika nilai kami masih jelek maka kami akan dianggap tidak belajar, tidak serius, bodoh, masa depan suram, tidak mau berusaha, dan segudang komentar negatif lainnya.
Yang kedua, menurut saya sistem pendidikan ini sangat minimal dalam mendukung aspek bidang non-akademik. Seperti yang saya katakan pada poin pertama tadi. Kami hanya dinilai dari bidang akademik saja. Padahal setiap orang dilahirkan dengan bakat yang berbeda2. Saya punya beberapa teman yang menurut saya mereka juga amat terbebani dengan sistem ini. Ada yang mempunyai bakat dalam bidang olahraga, komputer, musik, beladiri, kemampuan berbicara di depan umum, menulis, dll. Namun, mau bagaimana lagi? Kebanyakan waktu yang kami punya hanya dipakai untuk kepentingan akademik sekolah saja. Masuk sekolah setengah 7 pagi. Pulang jam 3 sore. Ngerjain PR dirumah yang selesainya biasanya malam hari. Bagaimana dengan akhir minggu? Ya enggak jauh beda. Akhir minggu pun tetep sering ada PR yang mengatasnamakan :”Banyak Latihan Biar Sukses” tapi hidup kami bukan untuk itu saja kan? Kami juga ingin melakukan sesuatu yang kami sukai. Bagaiman dengan ekskul? Ya, masing2 sekolah memang mempunyai program ekskul masing2. Tapi, saat pelaksanaan kebanyakan waktu yang diberikan pada kami sangat terbatas. Pulang jam 3, setelah itu mulai jam setengah 5 kami mulai di”usir” dari sekolah. Belum lagi, terkadang ada guru yang tidak mendukung dalam bidang non-akademik ini sehingg sulit untu mendapat ijin keluar sekolah untuk mengikuti perlombaan. Padahal dari event-event lomba seperti inilah kami mendapat kesempatan untuk lebih berprestasi daripada saat dikelas. Seolah2 kami harus pintar dulu dalam bidang akademik barulah kami boleh melakukan hobi kami. Bahkan kebanyakan anak yang mempunyai nilai buruk dalam akademik maka hobinya itulah yang dianggap sebagai sesuatu yang salah. Banyak orang tua yang jika anaknya buruk dalam niai akademik maka anak itu dilarang lagi melakukan hobinya, dilarang untuk ikut ekskul disekolahnya. Jadinya begini: “Lu gabisa dalam bidang akademik, nilai jelek, dimarahin guru, dimarahin OT, pengen ngilangin stress dengan ngelakuin sesuatu yang lu suka, hobi tersebut malah disalah2in dan dilarang sama orang tua dan guru lu, “KELAR IDUP LU!”
Tapi, perlu diingat juga bukan berarti hanya karena kita memiliki bakat tertentu janganlah menjadi orang yang terlalu membanggakan bakat tersebut dan jadi tidak mau belajar hal lainnya, tentunya untuk hidup kita perlu beberapa skill tidak hanya dari bakat saja. kita juga harus tetap mempelajari hal2 lain. tapi janganlah hal2 lain tersebut menjadi terlalu dipaksakan dan menjadi aspek utama untuk menilai kita. Karena semua orang mempunyai minat masing2 dan ingin melakukan juga hal2 yang mereka sukai.
Yang ketiga, Pelajaran yang terlalu banyak dan berujung pada waktu belajar yang terlalu banyak pula. Disekolah, banyak sekali pelajaran2 yang harus kita kuasai dan semua pelajaran itu sebagian besar hanyalah teori saja. Kami harus menghafal banyak rumus, menghafal banyak sejarah, menghafalkan struktur2 tanah, pasal-pasal, dll. Memang semua itu nantinya akan dipakai dalam bidang pekerjaan masing2. Namun, kebanyakan kami jadi menghafal semua itu dan jarang sekali melakukan prakteknya. Sehingga banyak dari kami yang jadi menghafal bukannya mengerti. Padahal menghafal rumus itupun tentunya belum cukup untuk dunia kerja nanti kan? Bukankah bahkan seorang pilot membutuhkan seorang kopilot untuk membantu dan memandunya seperti sebuah buku petunjuk? Bukankah seorang peneliti alam juga memiliki catatan sendiri ataupun buku saat sedang bekerja ke alam liar? Ada banyak pekerjaan yang bahkan diharuskan untuk memakai buku petunjuk demi hasil yang maksimal. Yang saya maksudkan: dengan hafal rumus bukan berarti kita dapat melakukannnya, pasti dalam pekerjaan kita nantiya membutuhkan bantuan2 di awal2 dan secara perlahan pun kita dapat menguasainya diluar kepala dan barulah kita melakukan pekerjaan yang kita lebih harus menghafal langkah2nya, contohnya saat operasi, tidak mungkinkan dokter tersebut mengoperasi sambil membaca buku tebal untuk petunjuknya? Karena itulah dia dibantu oleh dokter dan asisten lainnya. Dengan begitu banyak pelajaran ini jam kami disekolah pun semakin bertambah sehingga sering kali kebanyakan kami menghabiskan waktu disekolah daripada dirumah. Hal inilah yang menyebabkan banyak anak yang tidak bersosialisasi dengan keluarganya, kurang perhatian hingga terjebak pada pergaulan yang negatif. Entah bagaimana caranya di negara2 maju banyak yang memiliki jam belajar lebih sedikit daripada kita tapi mereka bisa lebih sukses. Kapan hal tersebut dapat dipraktekan di Indonesia? Entahlah, tapi lebih cepat lebih baik kan?
Ya, demikianlah pendapat saya tentang sistem pendidikan kita sekarang ini. Saran saya adalah supaya kita sama2 coba memberikan yang terbaik yang bisa kita lakukan dalam dunia pendidikan ini, dan pemerintah cobalah untuk mendengar dan menerima saran dan keluhan dari rakyat seperti kami ini. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah atau kurang berkenan. Mohon maaf bila kepanjangan sampe bosen bacanya hehe. Setuju atau tidak setuju ada di para pembaca masing2. Terima kasih telah menyempatkan untuk membaca. Salam kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H