Tanggal 12 Juli selalu diperingati sebagai hari koperasi dunia. Tidak seperti biasa, peringatan hari Koperasi tahun 2016 diperingati di luar tanggalnya. Meski masih di bulan Juli, presiden RI memperingati Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-69, pada Kamis, 21 Juli 2016, di kantor Gubernur Jambi, Telanipura, Kota Jambi (Republika, 21/7). Pertanda apa ini ? Apakah contoh penggambaran pemerintah tidak pernah “ngreken” (menganggap penting) terhadapnya? Silahkan pembaca menafsirkan sendiri?
Apa pun itu, realitasnya koperasi makin signifikan terhadap kondisi perekonomian dunia. Itulah mengapa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (FEB Universitas Indoensia) menginisiasi diskusi “koperasi sebagai tulang punggung ekonomi bekelanjutan” (cooperative for sustainable future), 17 juli 2016, di auditorium Magister Management UI Salemba, Jakarta. Penggagasnya dosen progressif FEB UI (pengajar koperasi) dan pegiat serta pelaku koperasi Indonesia. Gerakan ini perlu dikampanyekan ke fakultas ekonomi di universitas lainnya. Salut.
Gambaran ekonomi model kooperasi diulas banyak ilmuwan terkenal dan dipraktekan di sejumlah negara. Dalam diskusi, terungkap kajian FEB UI yang menjelaskan bahwa di negara yang memiliki kooperasi maju, itu berdampak pada kontribusi siginifikan PDB (produk domistik bruto) negrinya. Contoh, di negri Swedia, dari 5 kooperasi besar bila dijumlahkan mencapai 3,49% dari PDB atau senilai 200 trilyun.
Dari sisi pengelolaan dan kepemimpinan, model kooperasi dinilai adaptif terhadap pemerataan dan kesejahteraan pelakunya. Contoh umum ialah perbedaan kepemilikan klub sepakbola Barcelona dari Spanyol dan Arsenal di Inggris. Barcelona FC di dimiliki penggemar. Sementara saham Arsenal terbesar dipunyai hanya dipunyai 4 orang pemilik besar. Apa dampaknya ? Akibatnya harga tiket menonton pertandingan sepak bola Barcelona di stadiun Camp Nou berlipat-lipat lebih murah dibanding pertandingan Arsenal di stadiun Emirates. Luar biasa bukan…
Dari sisi pengelolaan dan kepemimpinan, model kooperasi dinilai adaptif terhadap pemerataan dan kesejahteraan pelakunya. Ada perbedaan pengelolaan managemen antara kooperasi dan Multinasional Coorporation (MNC). Gerakan kooperasi sering menyebut Mondragon sebagai contoh. MCC atau Mondragon Cooporation Cooperative (MCC), merupakan kooperasi pekerja provinsi Basque, Spanyol, yang berdiri 1945, dan beranggotakan 62.764 (tahun 2005). Kooperasi ini memanage 264 perusahaan di tiga bidang; keuangan, industry dan distribusi ritel. Yang luar biasa darinya adalah di bidang industry, MCC berada di urutan ketujuh teratas Spanyol. Sejumlah 78.455 karyawannya, 80 % nya telah menjadi anggota kooperasi. Global 300 (di tahun 2005), satu penilaian ICA (international cooperative alliance), menempatkan MCC di peringkat ke simbilan dengan “turn over” usahnya sejumlah USD 14.040 juta, serta memiliki asset USD 27.204 juta. Hebat kan…..
Yang membuat decak kagum adalah anggota (yang merupakan karyawan) MCC merupakan pemilik sekaligus pekerja di perusahaan tersebut. Dalam konteks itu, anggota (yang merupakan pememilknya) diberi ruang lebar untuk mengembangkan potensi guna menjadi professional. Karena itu, umumnya gaji manager atau CEO nya tidak lebih 9 : 1. Artinya honor manager tidak lebih banyak 9 kali dari gaji staf terendah. Ini berbeda dengan pengelolaan managemen di Multinasional Coorporation (MNC) di Amerika Serikat misalnya, yang memberikan gajih besar kepada managernya, yaitu sebesar 400:1. Hebat dan luar biasa “jomplang” nya kan….
Perbedaan mencolok antara honor CEO di kooperasi dan MNC, amat wajar, kata ahli managemen kooperasi. Karena bila ditelisik, “gaya” kepemimpinan kooperasi adalah “kebersamaan” (kooperasi). Dimana anggotanya merupakan pemilik yang diwakilkan kepada pengurus, dan merupakan “pengelola” sejatinya. Sang manager hanya berperan sebagai “fasilitator”, atau “arranger”, atau “konduktor”, yang menampung semua ide anggota dan pengurusnya – terutama di event RAT (rapat anggota tahunan). Semua masalah ditanggung kolektif. Di sinilah letak pentingnya pendidikan anggota. Jadi, menjadi anggota kooperasi, bersiap untuk pintar dan “berdaya”. Pendidikan, keswadayaan, solidaritas, inovasi, dan demokratis merupakan 5 pilar kooperasi. Tidak berat kan, jadi manager kooperasi. Bahkan, anggota dituntut cerdas. Enak bukan….
Berbeda dengan manager di perusahaan model PT atau CV. Mereka dituntut mengerti sebagai orang “cerdas” dan paham segalanya. Keputusanya selalu dinanti bawahan dan bagian perusahaan, serta pemiliknya. Singel fighter, istilah yang pas dengannya. Keputusannya juga top-down.
Praktek menarik perusahaan model kooperasi di Indonesia ialah ACE Hardware. Perusahaan pejual perabot rumah tangga di negeri Amerika Serikta (sebagai asalnya) adalah berwajah koperasi. Awalnya perusahaan perabot ini didirikan Richard Hesse, E. Gunnard Lindquist, Frank Burke, dan Oscar Fisher, tahun 1942, bermarkas di kota Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Namun setelah salah satu pendirinya, Hesse pensiun tahun 1973, ACE dijual kepada retailer dan menjadi koperasi. Kini, pemiliknya adalah buruh pekerja yang mengerjakan perkakasnya. Namun karena ada aturan pemerintah RI bahwa perusahaan asing yang hadir di Indonesia berbentuk PMA (penanaman modal asing) dan badan hukum PT. Meski begitu, dalam operasionalnya, ACE Hardware menerapkan prinsip kooperasi. Yaitu misalnya, ia menekankan “membership” atau keanggotaan kepada pelanggan. Bagi konsumen yang mendaftar menjadi “anggota” (member), maka mendapat kemudahan, seperti diskon atau benefit lainnya. Prinsip pemberian benefit bagi anggota, merupakan sebagian kecil prinsip kooperasi.
Koperasi: “Sokoguru” atau “Sokolidi” ?
Bagaimana kooperasi di Indonesia? Banyak tulisan yang mengulasnya. Pakar koperasi, aktifis gerakan, dan pelaku kooperasi sering membicarakanya. Ujung informasinya adalah “kegeraman” dengan kondisi kooperasi di Indonesia. Namun guna nyambung dengan paragraph berikut, penulis mengulasnya.