Sedih. Marah dan geram. Hati ini serasa bergelora begitu membaca kekerasan pendidikan terjadi lagi. Lagi dan Lagi. Muhammad Fadhili (20), Syaits Asyam (19), dan Ilham Listia Adi (20), tiga mahasiswa UII (universitas Islam Indonesia), Yogyakarta, meninggal dunia setelah mengikuti pendidikan dasar organisasi pencita alam, 13 -20 Januari 2017. Mereka mengikuti almarhum Amirullah Adityas Putra, siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, yang dianiaya seniornya, Rabu, 11/1/17, serta Dimas Khilmi, Kamis (12/1/17), santri pondok Modern Slamat, Kendal, wafat akibat dianiaya temannya. Dalam sebulan ini sudah 5 nyawa hilang akibat kekerasan dalam pendidikan. Sebagai orang tua – yang mempunyai anak --, asli, saya takut dan was-was dengan nasib anak yang sedang berlajar di lingkup pendidikan. Nasib anak di pendidikan laksana sedang menjadi “daftar tunggu” (list) korban berikutnya. Tragis….
Yang tak habis pikir di benak kami sebagai warga adalah tindakan anak didik yang melakukan kekerasan terhadap teman atau yuniornya. “Asupan” gizi pendidikan model apa mereka terima? Sehingga mereka bersikap “sadis” terhadap teman didiknya?
Untuk mengetahui gambaran itu, penulis mencoba merunut sejarah pendidikan Indonesia. Buah yang kita petik sekarang merupakan benih yang ditanam sebelumnya. Dan ternyata, bila kita omong pendidikan Indonesia, maka itu tidak bisa terlepas dari “politik pendidikan” secara makro. Meski telah berganti-ganti pemerintahan, presiden dan kementrian, namun sejarah panjang dampak “politik pendidikan” tak mudah mengikisnya.
Politik pendidikan Indonesia merupakan produk terunan dari idiologi yang mempengaruhi negara. Paling tidak, sejumlah praktek ideology yang menjadi dasar Negara, sejak hadirnya Orde Baru hingga masa kini, turut mempengaruhi politik pendidikan Indonesia. Yaitu; Idiology ekonomi pertumbuhan, idiology militeristik, dan ideology patriaki, serta perkuatan pemahaman fundamentalisme agama. Untuk menyingkat waktu, penulis hanya membahas dua ideology, yaitu; Idiology ekonomi pertumbuhan dan idiology militeristik, yang betul2 membekas dalam akar kekerasan di dunia pendidikan Indonesia. Dua ideology sisanya penulis bahas di lain waktu. Pergumulan -- paling tidak -- empat ideology itulah yang menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam pendidikan berulang terus.
Pertama, idiologi ekonomi pertumbuhan (politics of growth). Semenjak Orde Baru hingga kini, pemerintah Indonesia menganggap pertumbuhan ekonomi menjadi panglima pembangunan. Semua elemen bangsa dikonsentrasikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Paradigma Negara didominasi idiology neo-liberal dengan kebijakan ekonomi Kyens. Dalam hal itu, ia berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui industrialiasi menjadi elemen penting pembangunan yang memberi “tetesan” kepada peningkatan hasil social dalam standar hidup dan akses terhadap layanan primer manusia seperti kesehatan dan pendidikan.
Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, Bab III: Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, mengkofirmasinya. Hal ini dipertegas pemerintah dalam Repelita I dan Repelita II, yang menulis;
“Pendidikan harus mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan serta kemungkinan-kemungkinan perkembangan ekonomi dan sosial, sehingga dapat memberi bekal hidup pada murid-murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat.Mengingat bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun merupakan landasan untuk pembangunan tahap berikutnya dengan prioritas pada pertanian, industri yang menyokong pertanian, industri kecil dan ringan, industri pertambangan, prasarana serta pariwisata, maka pengarahan harus, disesuaikan dengan prioritas-prioritas tersebut. Hal ini terutama diperlukan pada tingkat-tingkat pendidikan yang akan menghasilkan lulusan dalam jangka waktu lima tahun yang akan datang”.
Jelas sekali bahwa Orde Baru menempatkan pendidikan untuk menunjang gerak laju pembangunan ekonomi. Cara berfikir tersebut dilanggengkan hingga Orde Reformasi. Saat krisis Indonesia 1998, dokumen perjanjian antara Indonesia dengan IMF (International Monetory Fund) dan Word Bank memperkuat padangan tersebut. Bahkan beberapa program pendidikan yang dibiayai bantuan luar negri tidak dipahami sebagai “hak dasar” manusia (seperti tertulis di program yang dibayai WB), namun sebagai jalan untuk memuluskan investasi dan pembangunan ekonomi. Dalam objective perjanjiannya, menulis, “to promote student learning and thus contribute to the development of quality human resources, ultimately leading to a growth in productivity and the improvement of Indonesia’s competitiveness in the global economy”.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (System Pendidikan Nasional) juga mengamininya. Turunnya derajat “kewajiban” pemerintah sebagai penanggung jawab utama pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Pasal 9 UU Sisdiknas, menyatakan bahwa “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. (Kompas, 18 april 2005).
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di pasal 11, ayat 1 dan 2. Dengan halus, pasal tersebut menurunkan kadar “kewajiban” pemerintah menjadi “sunnah”, dengan kata-kata “menjamin terselenggarakannya” pendidikan dari suatu “keharusan”. Ayat 1, berkata, “Pemerintah dan permintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”, dan juga ayat 2, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”
Kondisi ini inilah yang membuat pendidikan Indonesia “terjerembab” kepada “privatisasi”. Yaitu proses dimana negara akan melepaskan tanggung jawabnya untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang bermutu dan gratis – khususnya pendidikan dasar-- sebagai bagian dari pemenuhan hak warga negara. Sebagai akibatnya, negara menyerahkan penyediaan pelayanan publik ke “pasar” dan ke masyarakat, dengan meminimalkan perannya (Mukhtar, 2005).