Kini, kami di ujung jalan bercor yang bersambung tanah kering. Jalannya lebar namun bergelombang. Sisa air hujan menggenang, menggoyang ban motorku setengah licin. Sopir mengendarainya hati-hati. Sesekali hatiku dag dig. Khawatir motor menggelinding ke jurang karena tidak seimbang.
Kondisi ini akhirnya mendorong supir memintaku turun dan berjalan kaki di jalan penuh lumpur. Perjalanan terasa panjang dan membosankan. Perasaan was was menghantuiku. Hatiku berkata "kenapa perjalanan ini tidak sampai-sampai".
Melihat ini, sopir lekas mengajakku bercakap selama perjalanan. Saya memperbaiki tempat duduk karena perjalannan berbelok belok. Kini, kami sendirian di tengah sepinya hutan dan rerimbunan pohon di pegunungan.
Tiba-tiba supir menunjuk ke jalan tanah berwarna putih dari kejauhan yang berarti keterjangkauan tujuan di depan. Hatiku berkata, "Oh masih jauhkah itu lokasi yang hendak kita tuju ?".
Sampailah kami di perkampungan awal dimana kehidupan berdenyut. Beberapa rumah panggung dari kayu terlihat dari jalan. Inilah Tobadak 3 sebagai kampung tetangga, ungkap sopir ojek. Artinya masih ada permukiman Tobadak 4,5,6,7 hingga 8. Jalan akses kendaraan tetap berliku dan turun naik. Kami berhati-hati melewatinya.
Sampai kami melewati gapura bertulis, "selamat datang di desa Sejati". Alhamdulillah. Darinya masih 3 kilometer ke areal permukiman warga. Setelah sopir meletakan barang bawaan di rumahnya, kendaraanku ringan hingga ke rumah pak dusun sebagai lokasi menginap. Desa Sejati akronim "Sulawesi, Jawa, Timor" yang menandakan asal muasal penduduknya. Ketiga etnis tersebut mempunyai cerita ikhwal kedatangannya.
Yang menarikku, hikayat warga Eks Tim-Tim. Di sela-sela ngopi di malam di teras rumah panggung, saya berbincang dengan beberapa warga senior eks tim-tim.
Cerita awalnya dimulai saat mereka bermukim di Lokasi Penampungan, Makasar, setelah pengumuman refrendum antara integrasi dan kemerdekaan tahun 2000.
Kala itu, pemerintah RI memberi pilihan kepada warga untuk bertransmigrasi ke suatu daerah di Sulawesi Selatan. Tobadak yang berlokasi di Sulawesi Selatan kala itu dan kemudian dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Barat.