Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Hinua, Desa Tengah Perkebunan Nan Indah di Sulbar

10 Oktober 2023   09:34 Diperbarui: 10 Oktober 2023   17:56 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah pinggir jalan di tengah hutan lokasi peristirahatan sejenak pengendara (dok. pribadi)

Jam 04.30 kami terjaga dan segera ke sungai membawa senter untuk membuang air kencing dan membasuh muka. Jalan raya gelap dan sungai pun sunyi. Bunyi jangkrik bersautan. Gemercik air makin jelas terdengar kala saya mendekat sungai. Saya berharap cemas, semoga tidak ada binatang buas (seperti kera, ular, dan babi hutan) mendekat.

Bulu kulitku berdiri, kala air sungai menyentuhnya. Selesai menunaikan hajat, saya hengkang menuju dipan-kayu samping rumah. Gelap berangsur pergi dan matahari pagi muncul. Beberapa warga berjalan membawa gendongan. Satu persatu kendaraan lalu lalang di jalan raya.  

Sambil menikmati pagi, saya berdiri sebelah cerobong memandang jauh. Panorama bukit dan gunung yang dilalui sungai indah sekali. Kabut pagi turun perlahan menambah kecantikan panorama kampung. Dua aliran sungai lain membentang jauh mempercantik kelokan bawah pegunungan. Penduduk menggunakannya sebagai transportasi untuk menggapai kebun sawit dan karet. Ikan mas dan mujair hidup beberapa jenis tersisa disana.

Deretan gunung muncul setelah hilangnya kabut setelah hujan (dok.pribadi)
Deretan gunung muncul setelah hilangnya kabut setelah hujan (dok.pribadi)

Diantara barisan gunung berjejer indah, gunung Gandang Dewata terlihat gagah. Biasanya gunung tertinggi di Sulawesi itu terselimuti kabut, sehingga menghilang dari pendangan mata. Kala kabut tersingkap, wujud indahnya muncul megah.

Naoan Bulo berarti aliran deras air di bambu. Tahun 1980 an, kakek tuan rumah, seorang pendeta, bersama omnya membuka hutan penuh alang-alang sembari menyebarkan agama. Lokasi penambangan emas berjarak 64 kilometer dari kampung, menarik pendatang luar. Seiring waktu, omnya menikahi perempuan lokal dan berketurunan hingga kini.

Kesuburan tanah dan kelimpahan sumber alam mempercepat pertumbuhan kampung. Kakeknya menginisiasi menanam tanaman pangan bagi warga. Penduduk desa tetangga mendengar kemunculan kampung baru di wilayah kaya sumberdaya alam, mendorongnya menyambangi sesekali. Puncaknya, kala perusahaan besar masuk desa untuk mengambil hasil-hasil perkebunan.

Untuk menunjangnya, perusahaan sawit membangun jalan yang memunculkan keramaian dan mengundang orang luar. Penduduk asli dan pendatang berbondong bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Belakangan perusahaan hasil bumi mengambil minyak dari tanaman lokal warga. 

Rutinitas kehidupan warga, terbatas antara wilayah kebun – baik milik pribadi dan perusahaan – untuk bertani dan mencari ikan di sungai. Kini, kampung ramai dan jalanannya menjadi askes penting warga yang menuju kecamatan tetangga, Kalumpang.

Cuaca tak menentu. Awalnya langit cerah. Namun kala kami berkegiatan bersama warga sore jam 15.00, tiba-tiba hujan turun lebat. Bagai air bah tumpah ke bumi. Angin kencang menggoyangkan atap seng ruang pertemuan hingga berdenyit cit…cit…. Begitu hari-hari berikutnya. Pernah hujan tak henti dari siang hingga malam hari, menjadikan malam terasa dingin.

Jalan di tengah perkebunan dan hutan menjadi askes satu-satunya warga. Dokpri
Jalan di tengah perkebunan dan hutan menjadi askes satu-satunya warga. Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun