Sebatang sungai membelah huma yang cerah…”
Itulah persinggahanku di kampung Naoan Bulo, desa Hinua, kac. Benahau, Kab. Mamuju, Sulawesi Barat. Ia persis di pinggir jalan menanjak berbelok, membelah hutan yang sepi. Jalan itu penghubung antar kecamatan di tengah rerimbunan hutan.
Pasangan muda dengan dua anak kecil baru menempati rumah itu setahun lewat. Sebelumnya mereka menetap di kab. Palopo, Sulawesi Selatan.
“Keberanian yang tanpa tanding,” gumanku kala berbincang dengannya.
Kehadiran kami selama 3 malam meramaikan suasana. Biasanya kesunyian menyergap malam. Hanya bila hari penyulingan minyak, tuan rumah menemani warga pemilik daun dan ramailah suasanya.
Sore pukul 17.00 WIT, setelaH hujan mereda, kabut putih turun menutupi pemandangan indah pegunungan sekitarnya. Udara pun berubah segar.
Kami berbincang santai bareng tuan rumah seputar tata laku hidup seperti lokasi tempat tidur, jemuran pakaian, dan lokasi sungai kecil sebagai tempat mandi, buang air kecil, besar, serta mencuci pakaian. Eh, tiba-tiba, saya berkeinginan kencing di tengah obrolan.
Secepatnya, saya ngacir ke sungai kecil seberang jalan depan rumah. Pikirku, “Mumpung gelap belum hadir, saya mesti ke sungai”. Benar saja, saya menemukan air sungai jernih nan bersih. Tak ada kotoran menggenang. Airnya mengalir deras dari dataran atas hutan – mungkin dari mata air pegunungan -- ke bawah dan bergemercik lirih. Suasananya mirip kehidupan kampungku yang dekat sawah dan sungai.
Batu-batu berjejer di tengah dan pinggir sungai. Salah satunya menjadi tempat sandal, pakaian, alat mandi, sabun dsb. Rimbunan pohon memagari sungai, dan lereng bukit sebagai atapnya. Saya was-was dengan gerakan daun pohon, pertanda orang atau binatang muncul darinya.
Sepi dan suara burung hutan nyaring terdengar. Kala kusentuh airnya, “Wuih segarnya. Dingin sejuk dan bening sekali. Bebetuan dasarnya jelas terlihat dari atas air.” Di sini, kami mandi, mencuci dan membuang hajat selama 4 hari.