Hari Rabu, 6 Maret 2019, pukul 05.45 hujan rintik membasahi Jakarta dan sekitarnya. Selepas minum jus, saya bergegas naik motor di kegelapan pagi menuju istana Merdeka, di Jakarta Pusat. Bersama puluhan penggiat dan aktivis social, saya menghadiri undangan Mentri Sekretaris Negara RI bersama Presiden RI dlm acara "Silaturahmi dengan Perempuan Arus Bawa Bersama Memperkuat Bangsa".Â
Meski acara tertulis di undangan jam 09.30, tepat pukul 06.30 di pos samping toko souvenir, kompeks istana presiden, penuh dengan tamu undangan. Berkostum baju daerah; tenun, batik, dsb, undangan yang didominasi perempuan penggerak perubahan, berkerumun di sana.Â
Lampu kamera hand phone menyala bersautan. Muka-muka berseri memancar, tak sabar bertemu presiden RI. Undangannya seperti "pengakuan" negara atas kerjanya selama ini, pas dua hari menjelang hari perempuan dunia.
Di ajang silaturahmi, banyak sisi manarik perhatianku. Berikut ceritanya.
Penggusuran. Kata ini saya baru mendengar yang berkaitan dengan Presiden RI ke-7 Joko Widodo. Di depan ratusan peserta silaturahmi yang dihadiri perempuan penggerak komunitas berbagai provinsi, dan aktifis gerakan social -- khususnya pemberdayaan perempuan --, dengan jujur presiden RI mengagetkanku. Mungkin, hadirin lain juga tertegun.Â
"Saya merasakan betapa beratnya peran perempuan, khususnya kaum Ibu. Di tengah kesulitan ekonomi, ialah yang sering menjadi garda depan keluarga. Saya masih ingat.. Saat rumah saya digusur 3 kali. Karena keluarga memang tinggal di bantaran sungai. Di gusur sini, saya kontrak sana. Kontrak sana, saya digusur lagi." Dengan nada terjegak, karena mungkin ia teringat jasa ibunya, matanya berkaca dan berhenti sebelum meneruskan cerita. "Ibu saya lah yang berjuang mencari sandaran ekonomi keluarga. Tak kenal lelah, ia bekerja untuk dapur bisa mengebul setiap hari. Makanya, perjuangan 13 perempuan inisiator perubahan mengingatkanku pada perempuan sekitarku".
Asli saya kaget. Baru kali ini saya mendengar perjuangan presiden RI ke-7 sebelum menginjak istana. Betapa ia memang orang biasa. Sederhana dan apa adanya dalam berbicara. Senyum dan kata-katanya tak membersitkan selubung yang ditutupi. Itu juga tercermin saat ia mengobrol dengan perempuan yang dipanggil berdiri di samping di sela sambutannya. Dengan enteng, Presiden bertanya sesukanya.Â
Salah satunya, kepada Fitri. Perempuan Gresik yang didampingi Iva Hasanah, direktur KPS2K, yang sedari semalam berbincang dengan penulis, senang bukan kepalang.
Presiden pun mengapresiasi. Mungkin inilah energy positif seorang Presiden. Ketulusannya membuat Fitri lancar bercerita. Saya dan Iva -- direktur lembaga yang memfasilitasi aktifitasnya di sekolah perempuan -- terheran-heran memandang dan mendengar jawabannya.
Tolak angin. Saat Presiden berpidato dan berbincang dengan 4 peserta, tanpa sadar saya memandangi wajahnya. Kebutulan saya duduk persis di baris kedua depan dari 500 an tamu. Tidak ada yang berbeda dari profilnya di layar kaca. Tai lalat di wajahnya masih ada. Sisiran rambunya tak berubah. Dan yang khas, senyumnya tulus seperti masyarakat biasa dan kebanyakan. Acara silaturahmi pun selesai.Â