Kedua, cengkeraman ideology militerisme di system pendidikan.Sejak Orde Baru pola-pola militer begitu kentara dalam system pendidikan, dan pengaruhnya hingga kini. Turunan dari stretegi itu adalah menguatkan sentralisme dan otoritarianisme demi terwujudnya keseragaman dan keteraturan. Gambaran itu terwejawantahkan secara nyata di dalam sintralisasi kurikullum, penggunaan pakaian seragam, penggunaan strategi pembelajaran yang seragam, penggunaan buku sumber ajar yang seragam, strategi evaluasi yang sama, teknik dan metode guru mengajar yang hampir seragam pula, serta program-program pendidikan non formal dan informal yang seragam juga (terutama program pendidikan non formal dan informal yang didanai pemerintah (Edwatch, 2007).
Pendidikan bergaya militer menutup perbedaan dan kekayaan serta keanekaragaman praktek dan pengetahuan local yang arif dan memberdayakan – meski ada praktek local juga yang diskriminatif. Pakaian pelajar di zaman Orde Baru – dan masih di beberapa sekolah hingga kini -- seluruh negeri diseragamkan menjadi tiga jenis, yaitu; merah putih untuk SD, biru putih untuk SLTP, dan abu-abu putih untuk SMTA. Hal ini menutup peluang setiap daerah untuk mengembangkan jenis pakaian seragam lain yang bisa memanfaatkan keragaman dan kekayaan etnisnya.
Pola nyata penyeragaman gaya militer terlihat jelas di strategi kurrikulum pendidikan nasional. Kurikulum secara sistematis membuat pandangan dan pemikiran anak didik dengan cara berfikir Jawa dan kota sentries misalnya. Kurikulum tidak mencerminkan keanekaragaman daerah, budaya, tingkat pemahaman, dan orientasinya. Meski telah berganti (1968, 1975, 1984, 1994, 2013), namun kurikulum pendidikan tak mengurangi beban muatan yang terkadang membuat siswa depresi. Sebaliknya, sistem pendidikan malah membuat guru sebagai agen yang mengawasi dan “mendominasi” siswa. Selanjutnya, sekolah malah terkadang menjadi sensor yang “menghambat” bakat dan gairah anak didik untuk mengembangkan “curiosity” nya.
Pendidikan era Orde Barumenjadikan bangsa berwajah tunggal dan dimaknai secara sempit sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan rekayasa sosial di masyarakat. Dalam hal itu, politik pendidikan menjadi sistem pendukung kekuasaan dan menciptakan masyarakat yang seragam (sama, tidak menerima perbedaan, tidak bisa memaknai perbedaan), takut berkonflik (tidak bisa bersikap pada yang berbeda, tidak tahu bagaimana harus bersikap), dan cenderung kompromistis. Padahal tanpa sadar bentuk penyeragaman berhasil membentuk anak Indonesia mengabaikan penghargaan pada keragaman/perbedaan.
Watak militerisme dalam pola pendidikan membuat nilai-nilai Pancasila yang agung, sebagai buah pemikiran Soekarno, yang mewadai keanekaragaman Indonesia, namun ditangan Orde Baru menjadi hal yang kaku dan “membosankan”. HAR Tilar, profesor pedagogy UNJ (Universitas Negri Jakarta), mengecam pendidikan Pancasila dalam pendidikan kewarganegaraan yang menyalahi hakikat proses pendidikan. Hal itu karena disampaikan dengan gaya “indoktrinasi”, dan ditanamkan secara menghafal dengan paksaan.
Kondisi diatas turut menyuburkan benih kekerasan dalam pendidikan. Karena kondisi pendidikan dituntut seragam dan selalu mewujudkan harmoni, dimana penyimpangan selalu mendapat hukuman. Murid senior diminta untuk selalu menegakan kepatuhan tanpa "pertanyaan" (reserve) dari sang Guru. Kondisi itu berulang-ulang tanpa direfleksi dan dikaji ulang karen takut dinilai "menyimpang".
Dari sini jelas, bahwa kekerasan di pendidikan memiliki akar kuat dalam sejarah Indonesia. Pergumulan berbagai ideology (minimal 4, seperti diterangkan di atas) berdampak nyata terhadap anak didik dalam pendidikan Indonesia. Strategi dan rekomendasi untuk memutus rantai kekerasan dalam pendidikan memuat jangka pendek dan panjang. Jangka pendeknya, segera potong semua mata rantai yang mengandung kekerasan di semua aktifitas pendidikan baik yang intra dan ekstra kulikuler pendidikan. Jangka panjangnya, perlu mendiskusikan ulang “politik pendidikan” Indonesia ke depan, yang mampu menciptakan manusia Indonesia yang humanis, ramah terhadap keanekaramagaman, berintegritas, inklusif, sadar keadilan dan kesetaraan gender serta nilai-nilai kemanusian lainnya. (foto by mb Ponti).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H