Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Saksi Sejarah Bangsa

22 Oktober 2014   18:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:06 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_368332" align="aligncenter" width="624" caption="Foto: TRIBUNNEWS / HERUDIN"][/caption]

Malam kian larut. Kegelapan malam sudah dua hari ini tampak malu-malu. Hujan yang ditunggu manusia belum juga muncul. Udara panas kini penghias malam. Meski kamar tidurku memasang AC (air conditioner), tetap saja sayup-sayup panas menyelip diantara kesejukan udara AC. Malam itu, tgl 19 Oktober 2014, dua anakku asyik membaca buku di sudut kamar. Saya dan istri juga tenggelam dalam bacaan masing-masing. Mungkin karena bosen dengan buku yang itu-itu saja, anak-sulungku kembali membaca buku kartun “Mice”. Kemungkinan lebih 3 kali ia sudah menamatkannya. Buku tersebut merupakan kumpulan kartun yang termuat di HU. Kompas Minggu. Kartun itu sarat kritik, baik social, politik, budaya, maupun kehidupan sehari-hari. Ia senyum sesekali. Lain waktu, ia mengkerutkan dahinya. Terkadang ia bertanya kepadaku makna gambar kartunya. Dari pertanyaan itu, sering timbul diskusi tak terstruktur kondisi social Indonesia antaraku dengannya.

[caption id="attachment_349166" align="aligncenter" width="300" caption="Jokowi-JK diarak setelah dilantik MPR (sumber foto: WA inst Kapal)"]

14139514091901420939
14139514091901420939
[/caption]

Saat mata mulai terpejam tidur, pikiranku melayang jauh. Batinku berujuar, “Tepat malam ini, Indonesia sedang menyongsong ke arah perubahan baru”. Pikiranku terus melanglang dan membayangkan aneka macam hal. Salah satunya, besok, tgl 20 Oktober 2014, Negara pemilik kepulauan terbesar di dunia ini akan melantik presiden baru, Ir. Joko Widodo. Ia menjadi preseden termuda dibanding presiden sebelumya. Kata orang, ia merupakan anti tesis dari profil presiden (yang dipilih rakyat langsung) sebelumnya. Ia juga bisa menjadi pemotong generasi Indoensia sebelumnya yang terkontaminasi berbagai “oligarki”, watak yg menghambat demokratisasi Indonesia menuju bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. “Mumpung aku masih hidup dan berada dalam proses perubahan yang berjalan, maka aku harus merasakannya. Bahan inilah yang aku ceritakan kepada anak dan cucuku kelak”, gumanku pelan sebelum tertidur pulas.

Senin pagi, 20 Oktober 2014, aku mengantar anak-anakku tepat di pukul 06.30. Terlihat agak pagi – bila dibanding biasanya. Ini karena mereka mengikuti kegiatan tematik sekolah, atau belajar ke pembuatan salah satu perusahaan kue Pizza. Sambil menikmati music di mobil, saya berbicara ringan dengan anak-anak. Tak dinyana radio yang kudengar menyiarkan detik-detik pelantikan presiden ke -7 Indonesia. Radio itu bernama Gen-FM. Radio ini bukan studio khusus politik. Ia hanya radio yang focus pada kehidupan anak muda dalam siaran sehari-harinya. Namun sangat special, hari itu penyiarnya membahas profil Jokowi dari perspektif anak muda. Jokowi, sebagaimana diketahui masih muda dan merupakan penganggum mudik cadas. Kontan, sang penyiar menyetel lagu band Mettalica – salah satu group kesukaan Jokowi --, seperti; Nothing Else Matter, The Unforgiven, dan One. Batinku tergerak. Seakan tuntutan sejarah sedang menarik-narik anak muda Indonesia untuk terlibat sebagai saksi nyata bahwa hari ini seorang rakyat biasa– bukan dari keturunan ningrat – akan dilantik sebagai Presiden RI. Entah datang dari mana, tiba-tiba aura pemilihan presiden ke -7 seperti hadir di psikologi dan semangat pagiku. Jangan-jangan banyak warga yang turut merasakannya. Bagai tersengat, semangatku bergelora menyambut pelantikan tersebut. Seolah sejarah sedang bermula. Spontan, aku membatin, “Saya harus menjadi bagian dari sejarah ini!!!!”.

Hasrat untuk ke Monas (tempat syukuran rakyat atas pelantikan presiden ke-7) sementara saya simpan. Pagi ini pukul 09.00 saya harus menyelesaikan pekerjaan dengan teman di Kalibata, dekat stasium Pasar Minggu Baru. Sambil berdiskusi untuk perbaikan tulisan sebuah buku, saya mengikuti pelantikan presiden RI ke-7 melalui streaming stasiun Kompas tv. Diskusiku terkadang berhenti, karena di sela-sela siaran langsung pelatikan presiden dan pantauan kondisi jalan raya Sudirman hingga Hotel Indonesia, serta Bundaran Monas. Apalagi saat acara pelantikan presedin ke-7 selesai, dan analisis Kompas TV, Prof. Dr. Salim Said – pengamat politik dan militer --, terbata-bata karena menangis menyaksikan momen sejarah tersebut. Menurutnya, saya terharu, karena baru kali ini dalam sejarah Indonesia, pergantian kepemimpinan ke-7 berjalan mulus dan penuh dengan rekonsiliasi. Prabowo dan Hatta Rajasa, sebagai pesaing presiden terpilih hadir di pelantikan. Selain juga mantan presiden dan wakil presiden, seperti; BJ Habibie, Megawati, Hamzah Haz, Tri Sutrisno, dan Sinta Nuriah (istri Abdurrahman Wahid). Salim mengenang bahwa perlu dua tahun saat pergantian presiden dari Soekarno ke Soeharto. Hal sama saat pergantian dari Soeharto ke Habibie. Bahkan dari SBY ke Megawati, pun yang terakhir tidak menghadirinya karena ada persoalan pribadi yang sulit diselesaikan.

[caption id="attachment_349168" align="aligncenter" width="300" caption="Warga menyemut menyambut presiden baru (sumber: WA int. Kapal)"]

14139515521673195659
14139515521673195659
[/caption]

Kontan, saya terbawa dengan emosi yang dibawa Salim Said. Sekali-sekali saya tertunduk di sela-sela diskusi. Tanpa sadar, saya membenarkan ucapan Salim Said bahwa sejarah sedang dilukis pelakunya. Kejadian yang barusan saya lihat, makin mendorongku untuk langsung hadir dan menyaksikan antusiasme warga Indonesia yang kini berkumpul di Monas untuk merayakan pesta syukuran. Sebagai mantan aktifis mahasiswa, saya berhasrat sekali untuk berlari saat itu pula ingin ke monas setelah meliht siaran TV. Namun, saya masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan bersama kawan.

Tepat pukul 17.00 sore, udara panas semilir masih terasa. Akhirnya gejolak hasrat ini tak terbendung. Untuk sementara, kami urungkan niat untuk menyelesaikan tulisan. Kami sepakat untuk menundanya lain hari, dan bergegas menuju Monas. Saya kuatkan hati bahwa saya harus menjadi saksi sejarah Indonesia yang sedang “menjadi” (in making). Saya penasaran dengan atusiasme pendudukan Indonesia yang kini melakukan syukuran guna menyambut pemimpin bangsa yang ke-7 di lapangan Monas.

Jalan kupercepkat guna mencapai stasiun Pasar Minggu Baru. Sepuluh meter sebelum stasiun, pundakku ditepuk tangan seseorang dari belakang. Ternyata kawan sesama almamater kuliah dulu berdiri di belakangku. Ia memakai topi ala petani desa. Saya lupa namanya. Namun yang pasti, ia merupakan mahasiswa fakultas Filsafat dan menyukai hal-hal yang bersifat “auto the box”. Ia bertanya, “Hei kawan, mau kemana sore-sore hari begini ?”. “Mau ke Monas, untuk melihat konser salam 3 jari,” jawabku sekenanya. Ia mengacungkan jempolnya sebagai tanda setuju. Dan ternyata, ia juga baru saja dari Monas dan HI untuk menyaksikan pawai pesta syukuran rakyat di sana. Kami tidak sempat bercakap banyak, karena kereta ke arah kota sudah menunggu di stasiun.

KRL (kereta listrik) arah stasiun kota bergerak sedang. Saya pergi bersama kawan-kawan yang hendak menjadi saksi sejarah di Monas. Untuk menuju Monas, penumpang KRL harus turun di stasiun Gondangdia, stasiun terdekat dari jalan Merdeka. Di dalam KRL, perasaanku tidak sabar untuk segera sampai di lokasi pesta syukuran rakyat. Hatiku pengin cepat-cepat merasakan aura kegembiraaan rakyat menyambut pemimpin baru yang semoga membawa perubahan. Ya, angin perubahan.

Saat berdiri di dalam KRL, saya menyaksikan di depanku seorang anak perempuan kecil berumur 4 tahun bermain dengan kedua orangtuanya. Sementara kakaknya asyik memainkan botol air mineral. Ceria sekali anak dan kedua orangtuanya bersenda gurau di KRL yang miliki udara sejuk. Ya, semenjak PT kereta api dikomandai Iganatius Jonan, pelan-pelan kereta bertabah nyaman, dan manusiawi. Bila dibandingkan dengan 4 tahun silam, kondisi KRL sangat miris. Kebetulan saya aktif menggunaan KRL guna berangkat kuliah ke Depok. Kala itu, penumpang seperti barang mati atau ikan pepes yang disusun secara berderetan. Manusia berdesak-desakan dengan yang lain, karena sempitnya gerbong dan minimnya kursi. Belum lagi penumpang yang menumpuk di atas gerbong. Intinya, perubahan sedang bermula dan bergerak maju di negeri ini.

[caption id="attachment_349169" align="aligncenter" width="300" caption="Semua ingin merah putih berkibar gagah (sumber: WA inst. Kapal)"]

14139516711077065192
14139516711077065192
[/caption]

Tanpa sadar, stasiun Gondangdia di depan mata. Kereta berhenti sejenak dan saya turun segera. Setelah bertanya kepada satpam stasiun tentang arah Monas, saya bergegas menelusuri jalanan kecil persis di bawah bangunan rel KRL. Sepanjang jalan, saya bertemu dengan kelompok manusia yang hendak pergi ke Monas juga. Jadilah, kami berjalan beriringan dengan kelompok pejalan kaki lain yang memiliki tujuan sama. Ramai namun tertib. Polisi terlihat berjaga di samping kiri dan kanan sepanjang jalan kecil di bawah KRL. Di kiri-kanan jalan, terdapat lahan bangunan semi permanen yang dijadikan warga sebagai rumah makan sederhana (warteg), dan pejual nasi uduk khas Betawi dengan berbagai gorengan. Ada banyak pekerja kantoran yang berhenti sejenak untuk sarapan sore hari.

Jalan kecil itu berakhir pas disamping kedutaan besar Amerika Serikat. Begitu muncul di jalan raya, saya kaget sekali. Jalan raya itu sudah penuh. Ruang untuk berjalan kaki sangat sempit. Ratusan manusia sudah tumplek bleg di situ. Kendaraan roda empat parkir seenaknya di jalan belokan ke arah Monas atau stasiun Gambir. Mungkin karena sudah sulit untuk berjalan, maka pengemudi memarkir mobil di situ. Sementara di taman jalan depannya, motor di parkir sekenanya. Saya bersama rombongan lain yang menuju Monas, berjalan berhimpitan diantara pejalan kaki dan motor serta mobil. Pelan-pelan saya jalan selangkah demi selangkah. Makin sore, kelihatannya lautan manusia bertambah yang menuju pelataran Monas. Setelah berjalan di sela-sela kendaraan dan debu knalpot kendaraan, sampai juga saya di depan pintu belakang Monas.

Penuh sekali. lautan manusia menyemut di pintu belakang itu. Pintu masuk dan keluar menumpuk menjadi satu. Polisi yang berdiri di depan pintu, memberi aba-aba kepada pengunjung untuk berhati-hati. Pedagang asongan, makanan, dan aneka rupa barang berjejer di depan pintu hingga ke depan tugu monas. Diantara deretan kaki warga yang berjalan, berdiri truk-truk yang ternyata berisi gerobak pedagang kaki lima. Fasilitas makanan gratis dari gerobak yang disediakan panitia syukuran telah habis tak tersisa. Kini, pembeli harus membelinya dengan harga pasar dari pedagang kaki lima. Saya mendengar cerita ini dari pengunjung yang membeli “tahu gejrot” dari abang di depanku. Saat si pembeli bertanya mana makanan gratis yang disediakan pedagang, si abang menunjuk tumpukan gerobak di atas truk. Beberapa pengunjung berkata bahwa makanan gratis bertahan dua jam, sebelum ludes dilahap warga. Mantap….

Rasa haus menyerkap kerongkonganku. Saya berhenti sejenak kira-kira 20 meter dari pintu gerbang. Saya mencari celah ruang kosong di taman yang ditinggalkan warga lain. Dengan kertas koran yang ada di tas, saya duduk di taman di samping kerumunan warga lain. Air minum yang baru ku beli, aku minum beberapa teguk. Sate padang plus lontongnya juga saya pesan untuk mengisi perut. Ini jaga-jaga kalau-kalau nanti pas rasa lapar hadir, namun sulit mencari makanan. Sambil makan, saya menyaksikan lautan manusia datang tak henti-hentinya menuju panggung yang yang berjarak 30 meter dari hadapanku. Panggung terlihat sepi sejenak dari pertunjukan musik. Menurutu warga sampingku, baru saja para pengisi acara istirahat melaksanakan sholat magrib.

[caption id="attachment_349170" align="aligncenter" width="300" caption="Lalu lintas di depan Kedutaan AS macet bagai tak bergerak"]

14139517721667384504
14139517721667384504
[/caption]

Begitu jam menunjukan pukul 18.30, suara MC (master of ceremony) terdengar keras dari panggung yang pas berdiri di depan tugu Monas. Pengunjung menyemut ke arah panggung. Saya tertegun dan takjub. Lautan bahkan ribuan manusia berkumpul berdesak-desakan di depan panggung. Saya tidak berani mendekat ke panggung. Saya hanya berdiri jauh dari panggung. Mungkin kira-kira 30 meteran jarak antara panggung dan saya berdiri. Anak-anak, orang tua, suami-istri, pekerja kantoran, anak muda dan pasangannya, pekerja dari semua profosi berkumpul menjadi satu di depan panggung. Mereka bergembira bersama. Pas pukul 19.00 malam, presiden terpilih, Jokowi, muncul di atas panggung. Pengunjung berteriak histeris bagai menyaksikan artis idola. Tangan pengunjung dilambaikan tinggi-tinggi untuk menggapai sang idola. Sementara Jokowi sebagai presiden terpilih, berlari-lari menyisir segala sudut panggung. Ia mengepalkan tangan dengan salam 3 jarinya. Ia laksana penyanyi yang sedang melakukan pemanasan aksi guna memulai aksi panggungnya.

Yang geli saat itu adalah posisi ajudan Jokowi. Ia serba salah. Eh tanpa dinyana, ia ikutan lari-lari saat Jokowi berdiri dan berlari di atas panggung. Ia mengikuti beberapa centi meter di belakang dan sampingnya. Aneh tapi nyata. Sebelum jadi presiden, Jokowi bebas berlarian (seperti saat konser 2 jari di GBK), kini ia harus diikuti ajudan. Namun ia tidak risih. Bagusnya, sang wajah ajudan tidak bergeming. Ia tetap berwibawa (atau jangan-jangan diwiba-wibawain..hi..hi..). Tegap. Tak berekpresi wajahnya. Justru saya yang menyaksikan adegan tersebut tertawa terpingkal-pingkal bersama teman. Jangan-jangan memang ini sudah menjadi SOP ajudan seorang presiden.

[caption id="attachment_349171" align="aligncenter" width="300" caption="Bagai air bah, pengunjung bertambah seiring malam menjelang"]

14139518871136608891
14139518871136608891
[/caption]

Pukul 19.30. Malam tak terasa makin larut. Manusia yang hadir makin meningkat. Monas bertambah penuh. Artis di panggung makin garang dan semangat. Semangat membara dirasakan pengunjung, apalagi setelah melihat presiden terpilih berorasi, dan menyebar irama keoptimisan menatap Indonesia ke depan. Saya putuskan untuk pulang guna mengantisipasi kerumunan yang makin padat. Jalan pulang harus ditempuh seperti saat masuk dari pintu belakang (di depan Gambir). Saat baru beberapa meter berjalan pulang, saya lagi-lagi terpana. Lautan manusia bagai air bah. Ia mengalir deras tak terkomando menuju ke tugu Monas. Saya dan pengunjung yang hendak pulang, terlihat sama banyak dengan pengunjung yang menuju ke arah Monas. Hingga mendekati pintu keluar, saya berjalan pelan-pelan, bahkan berhimpitan. Akhirnya, tak pelak warga berdesak-desakan di pintu keluar dan masuk.

Polisi yang berdiri di atas mobil, dengan pengeras suara mengatur pengunjung untuk berhati-hati. Namun karena banyaknya manusia, suara polisi bagai sayup-sayup. Saya sekuat tenaga berjalan diantara desakan manusia baik yang mau keluar maupun masuk. Mataku pelan-pelan mengawasi jalan keluar yang akan saya lalui. Karena berdesak-desakan, akhirnya saya terdorong keluar. Begitu keluar, saya menuju ke arah jalan yang longgar untuk meghindari ombak manusia. Denganmeraba saya berjalan hati-hati. Di depan lautan manusia tetap berjalan pelan ke arahku. Motor pun ramai beriringan untuk parkir di area samping stasiun Gambir. Secepat itu, saya berjalan mencari celah diantara keriuhan pejalan kaki dan motor. Tanpa sadar, saya masuk ke jalan sempit diantara motor dan pejalan kaki.

Wah untung nih, saya bisa mengindar kerumunan manusia”, ucapku senang. Namun beberapa meter berjalan, ternyata saya bertemu deretan motor yang berada pas di depan dan sampingku. Kontan, saya sulit bermanuver untuk berjalan, baik ke depan maupun ke belakang. Akhirnya, saya mencari jalan di antara motor yang diparkir maupun yang sedang dinaiki pengedararnya. Beberapa menit, saya pandangi area dimana saya berdiri. Gelap, hanya sedikit penerangan. Pelan-pelan saya perhatikan. Ternyata lokasi dimana saya berdiri adalah lahan parkir motor di depan stasiun Gambir. Waduh…..

14139520691765537822
14139520691765537822

Pelan-pelan saya mencari jalan keluar dari lokasi itu. Dengan sabar, saya singkirkan motor-motor untuk mencari celah langkah kakiku. Eh tak dinyana, ternyata ada juga pengunjung yang ikut di belakang. Beberapa menit saya berkutat-kutat di dalam parkiran tersebut. Akhirnya, saya bisa keluar dan berjalan ke depan stasiun Gambir. Lalu lintas tidak normal malam itu. Manusia berkumpul dan berjalan serta menyeberang sesuka hatinya. Pengemudi mobil dan motor mencoba memaminya. Setelah menyebrang jalan raya, alhamduillah saya mendapatkan angkutan. Huh. enaknya badan ini bisa beristirahat. Energi positif yang baru saja dihembuskan presiden terpilih masih bersemayam dalam jiwa. Semoga energi ini tetap menghiasi negri ini. Amin…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun