Indonesia Super League (ISL) 2015 menjadi awal terjalinnya komunikasi yang baik antara PSSI dan Pemerintah cq BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia). Saat itu, sebelum menggelar kompetisi, PSSI merasa perlu melibatkan BOPI untuk memverifikasi semua kontestan ISL 2015.Â
Verfikasi pun dilakukan BOPI. Syukurnya, sebagian besar kontestan lolos dan layak di sebut sebagai klub profesional versi BOPI, kecuali Persebaya dan Arema Cronuos. Menurut BOPI kedua klub ini terganjal legalitas, karena bagi BOPI, kedua klub ini dianggap sebagai klub kloningan dari dua klub dengan nama yang sama. Alhasil, kedua klub inipun tidak mendapat rekomendasi untuk mengikuti kompetisi oleh BOPI.
The Show must go on, PSSI yg awalnya memang hanya meminta BOPI untuk memverifikasi bukan menetapkan, akhir tetap menggelar kompetisi dengan diikuti oleh kedua klub (Persebaya/Arema Cronous) ini. Dari sinilah awal konflik "baru" sepakbola Indonesia yang berakibat dibekukannya PSSI oleh Kemenpora (selanjutnya oleh FIFA). Tapi banyak hal yang aneh dari keputusan BOPI tersebut. Malah, kedua tim yang dianggap telah dikloning oleh kedua klub diatas, saat ini tidak jelas juntrungannya, apa masih ada atau justru sudah tiada.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, Kemenpora telah menggelar 2 turnamen sepakbola, yakni Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman. Anehnya, kedua klub yang sebelumnya dilarang mengikuti kompetisi oleh Kemenpora, malah tampil di kedua turnamen yang digagas Kemenpora bersama Mahaka Sport and Entertainment tersebut. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya motif Pemerintah cq Kemenpora dalam hal ini.
Seiring waktu berjalan, fakta-fakta Kemenpora dalam sepakbola Indonesia mulai terkuak. Sebagian kalangan menganggap, Kemenpora ingin merevolusi PSSI, agar sepakbola bisa bermamfaat bagi negara. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap jika Kemenpora dalam hal ini, hanya ingin menggusur semua yang terlibat dalam PSSI saat ini dan menggantinya dengan orang-orang baru yang dapat dikendalikan. Dengan demikian, sepakbola/PSSI dapat memberi "keuntungan" bagi sebagian kelompok, baik dari segi materi maupun popularitas.
Karena itu, dibuatlah berbagai intrik agar Kemenpora terlihat benar-benar ingin membenahi struktur sepakbola nasional. Namun jika dilihat lebih teliti, apa yang dilakukan Kemenpora tersebut justru menelanjangi Kemenpora sendiri.
Beberapa upaya yang dilakukan Kemenpora dan mendapat sambutan dari banyak pihak adalah, saat Kemenpora berani mengangkangi putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan PengadilaTinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Sebagian menganggap, tindakan "mengangkangi hukum" tersebut sudah benar, sebab yang dilawan adalah PSSI. Selain itu, tidak diizinkannya PSSI mendampingi delegasi FIFA bertemu Presiden merupakan tidakan yang tepat, sebab Pemerintah tidak lagi mengakui PSSI.
Lalu jika demikian, bagaimana bisa Pemerintah merengek minta tim kecil ke FIFA, bukankah FIFA itu ayah kandung PSSI yang dihinakan Pemerintah didepan mata mereka sendiri, terlebih kepengurusan PSSI saat ini dianggap masih sah oleh FIFA. Inilah yang tidak dipahami dan diagung-agungkan sebagian kalangan. Jika saja Pemerintah bisa menunjukkan itikad baiknya saat itu, niscaya FIFA tidak mengabulkan niat Pemerintah yang ingin membentuk tim kecil. Jika sudah demikian, alih-alih mengabulkan permintaan Pemerintah, tim adhoc dengan tidak melibatkan Pemerintah pun telah disahkan FIFA.
Jika Pemerintah masih ngotot, dengan FIFA yang saat ini masih loyal mengakui PSSI, mustahil sepakbola Indonesia terbebas dari sanksi FIFA, dan sepakbola Indonesia pun akan tetap tidak berharga seperti saat ini. Tapi bagaimanapun drama ini di episode-episode selanjutnya, sangat diharapkan agar endingnya tidak anti klimaks, dan kiranya tidak dapat segera diakhiri dengan jabatan tangan kedua belah pihak.
Memelihara konflik ini sama saja dengan membunuh masa depan anak-anak muda yang terlanjur "menggilai" sepakbola. Selain itu, dengan terus tayangnya episode-episode baru, akan memutus rantai makanan pelaku sepakbola yang jumlahnya ratus bahkan ribuan orang di negeri ini. Konflik ini sebenarnya sudah memasuki babak akhir, maka dari itu sangat dianjurkan oleh banyak kalangan agar Menpora menyudahi konflik ini.
*)Â Ilustrasi