[caption caption="Presiden baru FIFA, Gianni Infantino (Metropolitan.id)"][/caption]
Seperti yang sudah sering dibahas media, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) akan mengirim surat ke markas FIFA di Swiss yang intinya berisi ucapan selamat atas terpilihnya Mr. Infantino sebagai Presiden FIFA yang baru.
Dalam surat itu juga, Pemerintah Indonesia berharap kerja sama antara Indonesia sebagai Pemerintah maupun nantinya federasi kalau PSSI sudah tidak dibekukan lagi akan jauh lebih baik. Yang terakhir dan terpenting, tindak lanjut rencana Presiden Joko Widodo yang akan mengirim utusan Indonesia ke markas FIFA dalam waktu dekat.
Meski sudah jelas, Pemerintah sepertinya masih perlu mendapat penegasan FIFA soal langkah yang harus dilakukan agar sanksi Indonesia segera dicabut. Di surat itu, pokok permasalahan yang akan dibahas utusan Presiden di markas FIFA harusnya juga ada. Sebab, dengan adanya "kisi-kisi" tersebut, bisa menjadi rujukan bagi delegasi Penerintah yang bakal menyambangi FIFA. Kalau hanya bermodal kunjungan balasan saja, besar kemungkinan delegasi tersebut akan pulang dengan tangan hampa. Intinya, kalau tujuan kunjungan tertulis di surat, Pemerintah bisa tahu apa masih perlu mengirim delegasi ke markas FIFA.
Sulit memisahkan antara komunikasi (delegasi) Pemerintah dengan upaya melengserkan La Nyalla. Reformasi ditubuh induk sepakbola dunia yang baru saja terjadi, diharapkan jadi pintu masuk Pemerintah untuk menyampaikan keluahan terkait sepakbola. Kalau upaya itu di terima (FIFA), berarti kemenangan ada ditangan Kemenpora dan sepakbola Indonesia akan segera mendapat Presiden baru. Tapi kalau FIFA menolak, itu berarti cerminan sikap FIFA yang belum juga reformatif, sebagaimana disebutkan banyak pengamat.
Yang paling layak dibahas saat ini adalah kemungkinan paling buruk, yakni FIFA akan menolak karena Reformasi di tubuh FIFA. Kalau kemungkinan itu yang terjadi, apakah konflik sepakbola Indonesia harus terus dipelihara, sedangkan akhirnya toh Pembekuan dicabut juga?
[caption caption="La Nyalla Mattalitti dan Blatter di Bahrain 2015 (Depok Pos)"]
Banyak yang mengira kalau Pembekuan PSSI sangat merugikan bagi La Nyalla Mattalitti, lalu apa benar demikian? Biar pun dibekukan dan disanksi FIFA, faktanya La Nyalla masih Presiden PSSI dan bisa melanggeng mulus dikancah sepakbola Indonesia maupun dunia. Bahkan di kongres FIFA tahun lalu, La Nyalla adalah salah satu perwakilan Indonesia dan say "Hello, I'M Presiden of Indonesian Football" ke petinggi-petinggi FIFA waktu itu.
Lalu bagaimana di Indonesia? Sebelum dan sesudah terpilih di bulan April tahun lalu, La Nyalla tetap punya kendali di sepakbola Indonesia. Bahkan, Pemerintah (Tim Transisi) dipaksa urung-uringan saat ingin menggelar turnamen pasca Pembekuan PSSI. Jadi, siapa yang sebenarnya sangat dirugikan? Selain yang terlibat di sepakbola seperti Pemain, Pelatih, Klub, Asongan di stadion, Penjaga Parkir stadion, pedangan jersey ori-kw dll, Pemerintah juga tentu kena imbasnya dengan stigma negatif akhir-akhir ini.
Lalu timbul sebuah pertanyaan, apakah hasil yang didapat dari Pembekuan PSSI terlebih kalau nantinya FIFA menolak keinginan Pemerintah? Ada yang menjawab, setidaknya PSSI sudah/akan berubah, terbukti dengan akan diterapkannya Marque Cap di Kompetisi yang rencananya akan digelar April mendatang.
Syukurlah kalau begitu, semoga kebijakan itu bisa bertahan, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Meski terlihat sepele, itu sangat layak disyukuri. Tapi kalau itu saja sudah cukup dan layak disyukuri, lalu untuk apa nafsu yang bisa mempermalukan diri sendiri itu masih bertahan?