Mohon tunggu...
Waldy
Waldy Mohon Tunggu... -

Slow but Sure

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hutan, Tanah dan Cukong Berkantong Tebal

8 Januari 2016   17:29 Diperbarui: 8 Januari 2016   17:42 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara terluas keempat dunia dibawah China, India dan Amerika Serikat. Selaku negara yang memiliki luas wilayahnya terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, sebagian besar tanahnya juga ditumbuhi hutan hujan tropis yang terbentang di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi. Maka dari itu, Indonesia disebut sebagai Paru-paru dunia dengan hutan yang terbentang hampir 2/3 wilayahnya.

Sebagai negara yang memiliki tanah yang luas, Indonesia harusnya menjadi produsen hasil alam dan pertanian dunia, ditambah lagi bahwa tanah Indonesia disebut tanah yang subur Tongkat, Kayu dan Batu jadi tanaman. Namun, faktanya, Indonesia malah tidak mampu swasembada pangan. Baik Tomat, Bawang, Wortel apalagi Beras masih harus impor dari negara lain yang notabene luas wilayahnya jauh dibawah Indonesia.

Sebutan bahwa Indonesia Paru-paru dunia sedikit banyaknya malah merugikan Indonesia sendiri. Sedangkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi dan Air dan semua yang terkandung didalamnya dikuasai negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, hutan malah dibiarkan tidak berpenghuni, parahnya hutan malah di kuasai Cukong berkantong tebal yang diberi kuasa mengelola hutan seenak udelnya untuk terus mempertebal kantongnya.

Di satu sisi, si Cukong seenaknya menggarap hutan dengan membakar yang menghasilkan bencana asap seperti yang terjadi beberapa saat lalu. Di lain pihak, masyarakat sekitar yang notabene pemilik hak ulayat atas hutan dan tanah garapan si Cukong berkantong tebal, malah dikejar-kejar karena menuntut hak atas tanah ulayatnya.

Masyarakat yang disebut di Pasal 33 Ayat 3 diatas ternyata bukanlah masyarakat Indonesia pada umumnya, tapi hanya Cukong-cukong berkantong tebal, yang mampu menggarap ribuan bahkan ratusan ribu hektar hutan/tanah. Masyarakat? Biar saja jadi penonton dan pencuri dirumah/tanahnya sendiri untuk dijadikan Kambing Hitam.

Apa sih yang dimaksud dengan Sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat di Pasal 33 Ayat 3 tersebut? Jika boleh menduga, yang dimaksud untuk memakmurkan rakyat diatas adalah hasil hutan berupa Rotan, Buah-buahan, Sagu dan lain sebagainya. Tapi benarkah hal tersebut mampu memakmurkan Rakyat? Tidak, di tv-tv rakyat atau tingkat kesejahteraan masyarakat desa pemilik hutan dan menggantungkan dirinya pada lebatnya hutan malah tetap miskin makan gak makan dan melarat.

Jika hutan/tanah yang dikuasai negara yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, harusnya hutan dibagikan saja untuk digarap kemasyarakat sekitar pemilik tanah ulayat. Dengan syarat, Masyarakat hanya diperbolehkan menanam tanaman yang benihnya berasal dari negara. Jika Tomat ya Tomat, jika Cabe ya Cabe, jika Padi ya Padi bukan Kelapa Sawit. Jika negara sanggup dan jadi Pengepul atas hasil tanaman rakyat tersebut, ketergantungan impor Pemerintah otomatis akan menurun. Atau, bisa jadi secepatnya Indonesia akan berhasil Swasembada Pangan.

Ekosistem jangan dijadikan alasan, apalagi dengan alasan mempertahankan kekayaan hayati. Bukankah Indonesia juga punya Hutan Lindung yang luasnya bukan main?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun