MEMELUK BAYANGAN
I
Sebenarnya yang aku cari adalah kau, sosok bayangan yang meringkuk dalam pikiranku. Kau kerapkali muncul ke permukaan sadarku. Mengusik dan mencoba menguliti sepiku. Saat ku menemukan kau, mereka berisik seperti pasar. Berlalulang menghampiri imajiku dan aku tak bisa membedakan kau didalam mereka. Mataku tak cukup awas mengamatimu. Kau yang meringkuk dalam lamunku. Kau yang selalu menghadirkan tokoh dia untuk mengelabui pikiranku saat mencarimu.
II
Seketika dia datang menemuimu membawa pisau dan empat kotak kenangan yang dibungkus penyesalan, pertama : sebuah cincin tunangan yang dia pasang dijarinya, kedua :Â rajah di punggungnya yang bertuliskan nama calon anak kalian, Â ketiga : sebuah surat rumah beratasnamakan namamu yang dia hadiahkan sebagai hadiah ulang tahunmu ke semibilan belas, keempat : sosok dia yang selalu menyayangimu sekaligus menyiksa dirimu dengan hantaman, setelah itu ia meminta maaf menangis sambil menyilet tangannya sendiri. Semua kenangan itu selalu mengisi sepi harimu.
Apakah kau masih luluh dihadapannya?
III
Aku terlambat lagi. Aku memang selalu terlambat. Dahulu, awal kita bertemu, di cafe itu, Aku datang padamu saat kau terluka. Kau merasa sunyi setelah ditinggal sosok dirinya. Dan aku mencoba mengusir rasa sunyi yang ada pada dirimu, tapi belakangan aku sadar, Aku menghadirkan kesepian baru didalam dirimu. Kosong. Yang kau butuhkan bukanlah aku melainkan hanya bayangannya yang meringkuk dalam dirimu berharap aku menjadi sosok ia.
IV
Aku kira perjalanan ini akan sia sia. Waktuku menjadi sampah. Ku susuri kota kembang mencari jejak bayanganmu. Ku lahap setiap belokan dari jalan Sarijadi sampai Setiabudi. Gerimis. Ya hati ku memang sudah lama dirundung mendung. Tak ada lagi hujan.
Aku ingin bertemu denganmu. Aku pun menyiapkan kenangan manis untukmu, saat kau dan aku duduk di bawah pendopo pelataran Daruul Tauhid bersenda gurau berbincang tentang waktu.
V
Ah.. kau terlalu dini bergumul dengan tuhan. Sementara aku masih saja tersesat diantara benang kusut sarafku yang bertumpuk, mencari remah kenangan saat bersamamu.
VI
Lho bayangan dirimu mengapa memantul pada jendela bus yang kutumpangi. Aku hendak pulang. Hendak kemana kau. Samar kau terlihat memakai gaun kembang putih berpadu ungu. Aku bersandar di kursi mencoba mengalihkan pandanganku pada pemandangan dibalik jendela itu. Hilang.
Diluar terlihat hujan sangat deras. Kilat menyambar. Tapi bisikan itu terus datang. Ramai seperti pasar. Aku kehilangan kau lagi dalam keramaian. Dia datang membawa pisau. Dia hendak membunuhmu. Begitulah ucapmu berulang kali tiga bulan yang lalu.
VII
Dinding bisu. Sebenarnya kau menghadirkan dia. Saat aku mengulum bibirmu. Waktu kali pertama bercinta denganmu ditelingaku selalu terdengar nama dia. Setelah itu kau menangis dihadapanku. Aku diam. Aku tak memberikanmu kepastian atau harapan.
Aku bertanya kenapa?
Kau menggelengkan kepala, lalu menunduk. Kau tutupi tubuhmu dengan selimut menghadap dinding kamarku. Aku kira kau tertidur. Aku tinggalkan kau kedapur untuk membakar rokokku.
Saatku kembali untuk menghampirimu, kau sudah tidak ada. Kubuka lemari bajuku, kulihat gaun yang kau tinggalkan. Aku cium selimut yang menutupi tubuhmu, hanya wangi parfummu yang masih menempel dalam kepalaku. Mengapa aku membiarkan kau pergi dengan lelaki berpisau itu.
Aku tak tahu. Aku tak tahu. Kini dikamarku, dinding masih membisu.
VIII
Pagi itu dia datang ke rumahmu. Dia meminta cincin yang pernah diberikan padamu. Dia juga meminta beberapa harapan yang pernah ia berikan pada orang tuamu. Bagaimana bisa mengembalikan harapan? Sementara kau sudah bersamaku. Yang muncul kepermukaan hanyalah penyesalan. Ucapannya menjadi kasar kepadamu. Dia berniat membunuhmu. Oh aku tersentak. Bukankah cinta tak harus membunuh. Daripada kau dicintai oleh orang selain aku, lebih baik kau kubunuh. Begitulah katanya. Ia memang neurosis sama halnya dengan aku. Aku cemas kehilanganmu, tapi dia takut melihat kau bahagia selain dengan dirinya. Tapi aku.
IX
Sudah sembilan kali dia datang kepadamu. Sembilan kali pula dia memberi ksu pertanyaan, maukah kau menikah denganku. Menjalani pertalian ikatan sehidup semati sampai sebuah buku hijau itu lapuk dimakan waktu.
Konyol sekali pertanyaannya. Ia meminta kepastian. Apakah kau butuh kepastian saat tatapanmu masih saja kenangan tentang masa lalu yang indah. Lalu Kemana kenangan pahitmu. Saat kepalamu dihantam helm olehnya. Saat tinjunya menghantam wajahmu. Ketika kau membuat sedikit kesalahan kecil, kau ditarik didepan keramaian dan ditampar berulang kali. Mungkin cinta membuat semuanya terasa manis bagimu. Tapi tidak bagiku. Kau sosok perempuan, bukan untuk disiksa dan didera.
Didepanmu iblis dan malaikat berdampingan membawa semiliar ketidakpastian hidup. Aku tertawa dibelakangmu. Dia menangis di hadapanmu. Air mata penyesalan karena ia tulus menjaga hatimu. Mungkin entah.
X
Kuyup tubuhmu oleh air mata. Air mata itu adalah darah. Darah cinta yang mengalir mengisi vena tubuhmu. Air mata yang muncul dari penyesalan dan harapan. Mengapa kau menangisi harapan. Tubuhmu menjadi lekukan sungai deras yang mengalir menuju air terjun yang ketinggiannya tak dapat aku jangkau. Aku hanya berjalan di atas terjalnya batu - batu sungai, tanpa pernah mengarungi sulitnya arus liar yang mengalir didalamnya. Dia yang selalu menghantam batu cadas itu, dia yang selalu menggelorakan semangat untuk mengarungi derasnya arus sungai tubuhmu. Air mata. Hanya air mata yang menjadi mata air bagi jiwa sedikit melegakan rasa penyesalan.
XI
Ketika dia pergi, ia membawa sebotol whisky yang baunya menyengat sampai tubuhmu. Kau hampiri ketika dia mabuk. Dia menangis sambil memegang pisau ditangannya. Dia menyesali perbuatannya kepadamu. Dia tak akan mengulangi tingkah kasarnya.
Kau pernah bercerita padaku, bahwa ucapannya tak akan mengulangi tingkah kasarnya sudah pernah diucapkan berkali-kali. Dan beberapa minggu setelah dia ucapkan penyesalan itu lagi-lagi dia menghantam tubuhmu setiap kali kau sedikit saja menyinggung perasaanya. Kau dikurung dalam rumah sendiri. tak ada satupun temanmu yang boleh bermain dengan dirimu. Satu satunya nomor diponselmu adalah nomor ponselnya dan nomor dirimu sendiri. kau berulang mengganti nomer ponselmu. Ia terbiasa memukulmu dengan benda yang ada disekelilingnya. Setelah puas menyiksamu, dia meminta maaf dan memukul tubuhnya sendiri sambil menangis. Tapi, mengapa sampai dengan saat ini kau masih memaafkannya?
Malam ini dia meminum scotch whisky. Rasa cintanya padamu sangat besar. Cinta yang tidak rasional. Cinta yang sulit menjadi realistis. Cinta yang merantai tubuh, pikiran dan perasaanmu. Ia lelaki sejati bila mengalihkan sedikit cemburu, rindu dan kehilangan pada alkohol. Dia memegang lehermu seperti memegang leher botol.
Setelah membelaimu dam meminta maaf dia mencoba mencekikmu. Gw bunuh lo. Gw bunuh lo. Begitu katanya. Kau berontak, dan meminta pulang. Dikamarnya kau dipaksa meladeni hasratnya. Kau berontak dan berlari keluar dari kamarnya. dia menarik bajumu. Kau berhasil keluar. Dia tersudut sendiri.
Saat kau tiba dirumah mengapa kau merasa menyesal. Kau seperti merasakan kehilangan saat meninggalkannya sendirian bersama alkohol. Alkohol yang hidup didalam darahnya hanyalah luapan amarah seorang lelaki. Kau menangis sendirian dikamarmu. Mengapa aku tak bisa melepaskanmu. Itulah yang terdengar dari dalam hatimu.
XII
Aku duduk di atas genting. Azan menggema. Malaikat dan iblis masih bersamaku. Kemana kau sang bidadari. Aku yang memujamu dengan seluruh inderaku. Aku mencintamu dengan segenap tubuhku. Aku yang mengaliri cawan kesepian hormon estrogen didalam tubuhmu. Hipkorit dengan cinta sejati. Semua cinta berakhir kepada mati. Hakiki.
Ini adalah paragraf pertama yang kutulis, tak ada metafor. Kata-kata yang keluar mulai terasa kasar. Kau selalu berkata tentang dia. Kau menyesal mengapa memilih aku, sang pemuja tubuh. Kau menyesal bahwa aku terlalu munafik menyembunyikan ketidaksukaanku pada dirimu. Kau berkata bahwa aku berpura-pura manis padahal aku tak lebih dari sesosok iblis yang menipu daya dirimu.
Aku diam. Aku diam. Membiarkan makhluk 20000 kata bicara. Kau memang perlu berkata-kata agar hatimu lebih lega.
Yah dikamarku, kembali kau ucap nama dia. Dia yang tolol sekaligius tulus mencintamu. Dia yang tak inginkan tubuhmu. Dia yang hanya inginkan kehadiranmu tanpa menyentuh tubuhmu. Tapi ia yang menghilangkan mahkota yang selalu kau puja - puja itu.
 XIII
Sudahlah, yakini hatimu. Kau berkata padaku. Seharusnya aku yang berkata padamu. Yakini hatimu, agar aku bisa memberikan kepastian. Bukankah keraguan sebesar biji zarah saja mampu menghempaskan cinta seluas samudra. Ya sebutir pasir yang dilemparkan ke permukaan air yang tenang mampu menjadi riak gelombang yang semakin lama-makin besar. Semakin besar rasa cintaku. Â
Sebenarnya yang aku cari adalah kau. sosok yang berbaring dalam sadarku. Sosok wanita yang selalu ragu padaku. Karena kau ragu, aku cinta kau.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H