Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Angket KPK, Apakah Reformis atau Anti Reformis?

11 Februari 2018   09:15 Diperbarui: 11 Februari 2018   11:02 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/

Dasar pertimbangan MK tersebut justru saling bertentangan dengan putusan MK sebelumnya, sebab MK dalam putusannya Nomor: 5/PUU-I/2003 telah menyatakan bahwa lembaga negara tidaklah selalu harus dibentuk atas perintah atau disebut dalam undang-undang dasar, melainkan juga dapat dibentuk atas perintah undang-undang atau bahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dengan demikian dasar pertimbangan kedudukan KPK tersebut seyogyanya sudah dapat dipahami secara jelas dan terang karena  tercantum dalam teks Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, dan konsideran menimbang huruf (a) UU 3O/2002.

Teks ini sejalan pula dengan pertimbangan putusan MK Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006, tertanggal 19 Desember 2006, Nomor: 19/PUU-V/2007, tertanggal 13 November 2007, Nomor: 37-39/PUU-VIII/2010, tertanggal 15 Oktober 2010, Nomor 5/PUU-IX/2011, tertanggal 20 Juni 2011, dan Nomor: 49/PUU-XI/2013 tertanggal 14 November 2013. Dengan demikian kedudukan KPK seharusnya dapat dikukuhkan sebagai lembaga negara independen yang dianggap penting secara konstitusional (constitusional importance) diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif namun memiliki fungsi campuran (mix-function)koasi yudikatif dan eksekutif.       

Melawan Lupa  

Putusan MK yang saling bertentangan tersebut merupakan wujud dari anomali nalar yang sehat, dan kini MK telah kehilangan legitimasi moralnya semenjak dinahkodai Prof. Arief Hidayat. Akibatnya, muncul desakan sebanyak 54 guru besar diseluruh Indonesia yang meminta Prof. Arief Hidayat agar mengundurkan diri sebagai ketua MK (Kompas, 10/02/2018).Petisi tersebut muncul akibat keprihatinan masyarakat yang sadar terhadap upaya pemberantasan praktik korupsi, seharusnya penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP tidak perlu menggunakan hak angket, sebab jika hal itu diungkapkan akan menciptakan konflik kepentingan (vested interests) mengingat tersangka kasus megakorupsi pengadaan e-KTP melibatkan oknum yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Jika hak angket itu tetap dipaksakan, wajar saja jika hal itu dinilai dapat membunuh atau melemahkan KPK dalam upaya mengungkapkan kasus megakorupsi pengadaan e-KTP yang telah merugikan negara hampir Rp 2,3 Triliyun, dan merugikan masyarakat Indonesia karena belum bisa membuat KTP (tidak tersedianya blangko). Hambatan penegakan hukum terhadap upaya pemberantasan praktik korupsi seperti ini sebetulnya juga pernah terjadi sebelumnya jika MK dibawah nahkoda Prof. Arief Hidayat dapat sadar melawan lupa.

Bahwa pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pengguliran hak angket terkait penyelewengan dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar digulirkan pada saat politisi Akbar Tandjung didudukan sebagai tersangka dan terdakwa ketika masih menjabat sebagai ketua DPR, dan ketua umum partai Golkar (2004). Pasca bergulirnya hak angket tersebut, politisi Akbar Tandjung dinyatakan tidak bersalah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Menteri Sekretaris Negara dalam putusan pengadilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Sumber: www.terasjatim.com
Sumber: www.terasjatim.com
Pertimbangan pengadilan tingkat kasasi tersebut diduga telah menggunakan anomali nalar yang sehat, ini terlihat dari penyikapan kedudukan Akbar Tandjung yang dianggap telah bertindak dalam keadaan darurat sehingga menyatakan perbuatan tersebut bukan merupakan penyalahgunaan wewenang.

Sementara, fakta tidak dipertimbangkannya perintah Presiden agar tidak melanggar Keppres Nomor: 16 Tahun 1994, justru malah melupakan perasaan keadilan, karena teks hukum sudah tidak lagi bernyawa melawan konteks peristiwa pada saat itu. Apakah peristiwa hukum semacam ini dapat terjadi pula dalam upaya penegakan hukum kasus dugaan megakorupsi pengadaan e-KTP? Dugaan kesamaannya sudah ada yang bisa dipersamakan, namun masih belum bisa disimpulkan sampai adanya putusan pengadilan tingkat kasasi nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun