Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Uangmu Miliku, Uangku Bukan Milikmu”

4 September 2015   16:02 Diperbarui: 4 September 2015   16:18 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Pernahkah anda mendengar suatu pernyataan tentang “uangmu (suami) menjadi uangku, dan uangku ya… tetap uangku”. Apabila sudah ada yang pernah mendengar pernyataan tentang itu, apa yang anda rasakan setelah mendengar pernyataan? Jika seteleh mendengar pernyataan seperti itu, anda kemudian merasakan ada yang tidak enak dibagian kepala maupun dihati anda, saya bisa tebak bila anda pasti seorang laki-laki.

 

Tapi tahukah kamu kalau pernyataan tersebut sama seperti meminum jamu. Ya... sama seperti meminum jamu tradisional (nama universalnya disebut “herbal”), mengapa sama? Jamu tradisional atau herbal jika diperbandingkan dengan pernyataan “uangmu (suami) miliku, uangku bukan milikmu” merupakan sama-sama mengandung unsur alami. Letaknya persamaannya dimana? Kalau jamu tradisional atau herbal diambil dari bahan alami tentunya sudah diketahui, sementara letak pernyataan “uangmu (suami) miliku, uangku bukan milikmu” mengandung unsur alami secara substantifnya karena diciptakanNya laki-laki adalah sebagai pemimpin untuk wanita. Hal ini sebagaimana dalil-dalil yang dinyatakan dalam kitab-kitab suci berikut ini:

 Alkitab

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh” (Efesus 5 : 22-23).

 Kitab Al-Qur’an

Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. An-Nisa':34)

 “Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Jadi jelas alasannya bahwa laki-laki itu sebagai pemimpin untuk wanita karena laki-laki memiliki tanggungjawab untuk memberikan nafkah kepada istrinya, dan hal ini bersifat mutlak serta absolut karena berdasarkan sabda Sang Pencipta. Oleh karenanya mengandung unsur alami.

Persamaan lainnya tentunya sudah pula mengetahui kalau jamu tradisional atau herbal itu memiliki khasiat tertentu, lantas bagaimana persamaannya jamu atau herbal dengan pernyataan “uangmu (suami) miliku, uangku bukan milikmu”, dimanakah letas khasiatnya? Adapun untuk mengetahui rumusan jawaban dari pertanyaan tersebut dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut:

Dalam hadist Sa’d bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua nafkah yang engkau berikan, itu bernilai sedekah. Hingga suapan yang engkau ulurkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari 2742 dan Muslim 1628).

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR.Bukhari 5351).

Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

Berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut diatas, maka dimaknai bahwa nafkah suami atau uang suami kepada istri bernilai “sedekah”. Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa menuai atau berkhasiat sebagai pahala, dengan catatan jika diniatkan dengan ikhlas, hal ini sebagaimana Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56).

Oleh karenanya jika suami hendak memberikan uang kepada istrinya sebagai nafkah sebaiknya dilaksankan dengan hati yang ikhlas, sehingga dapat memperoleh pahala. Namun jika sebaliknya, maka pemberian uang suami kepada istrinya sebagai nafkah tanpa dengan hati yang ikhlas hanyalah bernilai sebagai kewajiban suami sebagai pemimpin rumah tangga.

 

Dengan mengetahui kedua persamaan tersebut, tentunya kita sebagai laki-laki sudah dapat berdamai dengan pernyataan “uangmu (suami) miliku, uangku bukan milikmu”, karena itu sama seperti jamu, yakni sama-sama mengandung unsur alami, dan sama-sama memiliki khasiat. Namun sayangnya berdasarkan data penelitian yang diperoleh menyatakan tidak semua laki-laki menyukai untuk meminum jamu, begitu pula dengan pernyataan tentang “uangmu (suami) miliku, uangku bukan milikmu”, tidak semua laki-laki mampu berdamai dengan pernyataan tersebut.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun