Mohon tunggu...
Franky Dwi Damai (Idham)
Franky Dwi Damai (Idham) Mohon Tunggu... Tutor - Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha (UPG)

Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Langkah, Tergantung Penempaan Diri

22 Februari 2020   02:05 Diperbarui: 22 Februari 2020   02:05 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Usai sehari perjalanan dan akhirnya sampailah juga aku dan menemukan kota pendidikan tujuanku. Aku merasa sepi dan merasa asing di sini di kota Singaraja. Sanak saudarapun aku tak punya apalagi teman seperjuanganku. Namun ketika itu aku masih bisa bersyukur karena masih ada Kakak tingkat yang mau menerima dan memperbolehkanku menumpang sebut saja (Sahrul/Cak Brin dkk).

Selama satu minggu, aku hanya mejalani rutinitas yang tidak familiar sebagaimana mestinya kultur dan status quo hidupku. Situasi di mana aku memaksakan diri untuk melawanya, hingga memutuskan untuk tidak melakukan rutinitas sebagai seorang pekerja. Berbeda dengan saat masih di kampung. Akupun memulai dengan melakukan rutinitas baru, sebagai mahasiswa tidak seperti pekerjaan yang menghasilkan uang. Saat jadi mahasiswa baru aku mulai disuguhkan persiapan administrasi pendaftaran kuliah, daftar ulang dan juga persiapan ospek dua minggu kedepan.

Banyak rintangan akademik yang aku hadapi, mulai dari ketidak bebasan berekspresi. Tuntutan dari panitia ospek, hingga pembayaran uang ospek. Semua terangkum menjadi satu yang membekukan pikirku. Seusai ospek mulai aku temukan warna baru yang mulai aku resapi. Dengan mencoba memahami rekayasa demi rekayasa dan status quou orang lain. Aku mulai belajar kembali tentang lingkungan sekitar baruku.

Aku teringat kembali, bahwa seperti biasa setiap pagi aku selalu sarapan bersama dengan keluarga kecil, karena untuk tahun pertama dan terakhir pastinya aku harus memaksakan untuk melaksanakan segala rutinitasku tanpa kehadiran mereka yang secara tatap muka memotivasi dan mengkritisiku.

Kesepian rutinitas dan kebekuan pikir menjadikanku untuk, mencari relasi dan membuka diri untuk menempa diri. Akupun memulai bergegas untuk mengikuti seluruh kegiatan yang diwajibkan di Kampus. Bahkan aku mulai mengikuti perkumpulan organisasi islam di lingkungan kampus sebut saja, PMM Alhikmah, di sana aku mulai menemukan teman senasib perantauan, aku juga mulai menemukan keberagaman karakter dan cita-cita serta perjuangan dari hubungan pertemanan.

Namun aku tetap gelisah, sampai pada suatu hari aku menemukan sebuah komunitas teather Putung Rokok (Kontur). Banyak yang aku temukan di komunitas ini, mulai dari hubungan pertemanan, etika, kebebasan dan kebersamaan dalam keberagaman.

Namun pada satu sisi aku masih resah dan  tak tahu arah tujuan. Masih tidak puas dan haus ilmu, mulai tergiang kebekuan di hati dan pikirku,  gelut keruh mulai kembali lagi, apa yang aku inginkan dan apa yang harus aku lakukan. Entah, apa yang membuatku resah, yang aku tahu hanya ada yang kurang dengan kondisiku saat ini. Selama ini aku tidak menemukan kepuasaan dalam dunia kemahasiswaan, mulai dari pengkosongan, doktrin dan pembelajaran dengan kekangan sistem pengajaran yang tidaklah semua gaya pembelajaran Dosen masuk dalam pikiranku.

Aku sering mengalami bentrok dengan perseptif, yang jelas ada budaya pendidikan yang kurang bisa dicerna oleh Pikirku. Konsepsi yang dusah diterima secara rasional dan sungguh itu sangat membuatku geli. Sialnya beberapa dari mereka selalu konsisten dengan gaya-gaya otoritarian serta penekanan bentuk primodialismenya sendiri.

Lucunya aku mulai sadar dan semakin geli, di mana aku dihadirkan pada realitas kebenaran yang diterima melalui paksaan-paksaan oleh sekelompok  yang mengaku intelek yang punya rangsangan kaku, untuk diakui dan di sepakati oleh sekumpulan manusia  berpikir di kelas kontruksi yang beku.

Tidak siklus namun cenderung stagnan dan linear cara kerjanya. Sampai pada suatu hari salah satu dari sekumpulan manusia berpikir itu sadar dan mengaminkan atas penentangan sistem pendidikan "Gaya Bank", sebagai alat penindasan menurut Paulo Freire dalam bukunya (Pedagogy of the Oppressed). kepedulian Paulo Freire dalam bidang pendidikan sangatlah memajukan peradaban dan memanusiakan manusia sebagaimana dalam Buku Pertama : Educacao como Practica de Liberdade, yang di dalamnya membahasa bahwa Pendidikan Sebagai Pelaksanaan Pembebasan.

Paulo Freire, dalam beberapa karyanya menawarkan kesadaran terhadap para individu dengan  menyebutkan bahwa pendidikan lama sebagai pendidikan dengan "sistem bank" dikarenakan di dalam pendidikan guru merupakan subjek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat laksana deposit belaka, dan dalam proses tersebut murid semata-mata merupakan objek. Sistem ini senantisa dirobohkan oleh Freire dengan menciptakan sistem baru yang dinamakan problem-posing education (pendidikan hadap masalah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun