Awal perjalanan
Singaraja, 22 Januari 2020. Dua pekan sebelumnya dalam setiap malam, aku mulai resah kebimbangan diri mulai menyuluti lelap tidurku, Â hingga tersulut di bawah alam sadarku, terbesit keheningan.Â
Aku meronta-ronta dalam diam bersama kehingan malam dan setumpuk penyakit susah tidur yang mulai membelenggu. Kubuka kembali lembaran-lembaran jejak langkahku empat tahun silam. Sebelum aku menguatkan keberangkatanku untuk meninggalkan Kampung halaman tepatnya di Tahun 2016.
Aku masih ingat betul, kenapa aku mengorbankan pilihanku sendiri, dan lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan kuliah dari pada bekerja dan berdiam diri di Kampung halaman. Tiada lain adalah kekuatan surga duniaku yang selalu membuatku berpikir dan merenung "lima tahun kedepan" apakah diriku tetap seperti ini, ataukah harus mencari jati diri sesuai alternatif kedua orang tuaku.
Cukup satu minggu waktu diberikan padaku oleh Ibu, untuk berpikir panjang sebelum bertindak. Hingga kerap setiap malam aku selalu bermunajat pada Tuhanku, dan kusampaikan dalam lantunan pasrah harusnya aku bagaiamana Tuhan. Hal ini terjadi, dikarenakan karena ada dua hal yang menjadikanku berat.
Aku berpikir bahwa Ibu, akan sendirian dalam mengisi hari-harinya tanpa kehadiran diriku. Lantaran Kakakku saat itu sedang kuliah di Politeknik Negeri Malang. Belum lagi saat itu Ayah sering bekerja di luar kota untuk memenehui kebutuhan hidup keluarga kecil kami. Itulah alasanku sungguh berat, karena sudah jadi hukum kepastiaan, kalau aku takkan kuasa meninggalkan Ibu sendiri di rumah.
Kedua, yang tergiang dipikirku adalah Ibu akan lebih bersusah payah untuk mengikhlaskan aku dan juga bersusah payah untuk membiayai hidupku di perantauan serta menunjang fasilasku untuk menunjang pendidikan.
Semakin hari semakin berat beban ini, dan sampai pada akhir waktu yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Bahwa kenyataan yang membenturku mau tidak mau, ikhlas dan tidak ikhlas aku harus pergi untuk melanjutkan pendidikanku di tanah Rantau, dan meninggalkan keluarga kecilku.
Aku percaya bahwa keabadian dalam hidup adalah perjalanan penempaan diri yang sangat dinamis, yang entah sampai kapan harus di akhiri. Jelas aku harus melewati ini semua. Tak terasa kedua mataku meneteskan air mata setelah Ibu, melaksanakan ritual adat keluarga kecil kami sebelum pergi dari tanah asli kelahiranku, Sedayulawas, Brondong, Lamongan.
Ibu mengantarkanku bersama Bapak dan Kakakku sampai di Terminal, Tunggul, kami berempat tak kuasa menahan tangis dan seolah tegar dalam perpisahan untuk sejenak saling mengikhlaskan jarak dan waktu kebersamaan dalam setiap hari-hari panjang. Lewat kaca bus, aku berdiri dan  menengok mereka bertiga.
Ternyata mereka menangis, aku hanya bisa diam dan duduk kembali di atas dan melepas pandanganku dari arah mereka dan memilih untuk menghadap ke depan jalan yang harus aku lewati hingga sampai kota tujuan perantauanku, yakni Kota Singaraja, Bali.