“One more please…one more…give me a strength to help one more…..” –Desmond Doss–
________
Sebulan belakangan ini kebetulan raga dan jiwa saya sedang tidak sinkron satu sama lain. Pekerjaan di kantor yang menggerogoti otak, ujug-ujug harus berjumpa dengan penyakit asam lambung yang tinggi. Keduanya sudah cukup bikin saya baper uring-uringan. “Baiklah hati, mari kita cari ketentraman sejenak. Kau lihat disana? Ada film yang menggoda sekali.....”, kira-kira begitu ujar saya ketika melihat poster sebuah film di situs bioskop kesayangan.
From the Director of Braveheart and The Passion of The Christ.
Yup, kebetulan yang lainnya adalah saya penikmat film karya om “nakal” yang satu ini. Braveheart (cuekin dulu seorang kakek di pojokan sono yang katanya gak doyan sama film ini haha) & Apocalypto adalah film yang tak ada bosan-bosannya saya intip saat kerinduan akan film perang meracau. Dan jumat kemarin, kerinduan di hati ini sirna sudah. Mel Gibson kembali membuat saya bahagia setelah si om bangun dari tidur panjangnya, selama 10 tahun.
Hacksaw Ridge dibuka dengan sekuil pertempuran dahsyat antara tentara tentara Amerika dan pasukan Jepang di Okinawa. Dan tanpa mengijinkan saya untuk tahu apa yang sedang terjadi, flash back 16 tahun silam pun dimulai. Di dataran Virgina, Amerika, saya diajak berkenalan dengan seorang anak yang bernama Desmond Doss. Desmond dikisahkan berasal dari keluarga yang kurang harmonis namun religius. Ayahnya, Tom, yang mantan Prajurit Perang Dunia 1 adalah seorang alcoholic dan acap kali memukul Ibu Desmond. Hingga pada suatu hari, ada dua kejadian penting yang menyebabkan Desmond memutuskan untuk tidak sekalipun melukai manusia dan memegang senjata. Keputusan yang akan menguji keteguhan iman seorang Desmond sebagai seorang Kristen Advent yang taat.
Setting waktu membawa saya ketika Desmond sudah beranjak dewasa, saat dimana Perang Duniake-2 sedang bergejolak. Pearl Habour diserang dan nyaris semua pemuda Amerika mendaftarkan diri menjadi tentara, tak terkecuali Desmond, yang berniat mengikuti jejak kakaknya yang sudah lebih dahulu menjadi prajurit. Dibantu Dorothy, kekasihnya yang juga seorang perawat, Desmond belajar mengenai dunia medis. Dan pada akhirnya dia berhasil masuk ke sekolah infantri demi mimpinya menjadi paramedis di medan perang.
Mau jadi prajurit tapi ogah pegang senjata?Gih, ke laut aje lo!Kira-kira seperti itu amukan rekan-rekan dan kapten Desmond di camp pelatihan. Desmond pun dibully, digebukin hingga akhirnya diajukan ke pengadilan militer karena dianggap melanggar aturan. Namun karena satu dan lain hal, akhirnya Desmond diberi kesempatan untuk terjun ke medan perang. Hingga takdir membawa Desmond ke Okinawa. Saat dimana Desmond dan rekan satu tim harus mengganti tim lain yang sudah dibantai habis oleh pasukan Jepang.
Dan perjalanan spiritual yang sesungguhnya -si pemuda lugu anti kekerasan- itu pun dimulai.
Bagi saya, Gibson adalah salah satu sutradara yang pandai bercerita. Dalam setiap filmnya, si om tidak pernah terburu-buru dan main hantamkromo. Di sepertiga awal film, saya dibiarkan menyelami sosok Desmond dan orang-orang disekitarnya. Bagaimana hubungan Desmond dengan Ayah, Ibu, kakak, juga kekasih yang dicintainya, Dorothy. Menjadiakn Hacksaw Ridge terlihat layaknya film drama yang unyu dan menggemaskan!
Fase kedua adalah ketika Desmond berada di camp penampungan. Berjumpa dengan rekan-rekan yang beraneka ragam juga sersan yang doyan marah-marah, mengingatkan saya akan film Full Metal Jacket-nya Stanley Kubrick. Dialog-dialog to the point yang tersaji selama Desmond dibully oleh rekan-rekannya hingga masuk ke jeruji besi, menjadikan konflik batin yang dialami Desmond semakin masuk ke relung hati saya. “Oh God, sungguh masih adakah seseorang dengan iman seperti Doss?”