Entah angin apa yang membawa saya hingga akhirnya memilih A Monster Calls dari sekian film yang sedang bertengger di bioskop, kemarin sore. Tanpa bisikan ghaib dari Mbah Gugel, tanpa contekan review dari tomat busuk rotten tomatoes, saya yang awalnya berniat menonton Miss Peregrine's, seperti tersihir oleh poster yang sederhana nan misterius dari film ini. Iya, seorang bocah yang sedang tertidur di bawah pohon besar berakar lebat.
Dan ternyata nasihat nenek tetangga saya benar adanya. Ikutilah kata hatimu, nisanak...maka kau tak’an menyesal.......
Diadaptasi dari novel yang berjudul sama, A Monster Calls bercerita tentang seorang anak bernama Conor O’Malley (diperankan dengan amat yahuts oleh dedek Lewis MacDougall) yang tinggal bersama Ibunya (Felicity Jones), yang sedang berjuang menjalani pengobatan kanker.
Di suatu malam, tepatnya pukul 12.07, di dalam mimpinya Conor didatangi sesosok monster yang berwujud pohon yew raksasa (Coba tebak siapa pengisi suara si monster ini, sodarah-sodarah? Iyes, om Liam Neeson!). Sang monster berkata bahwa dia akan menceritakan 3 kisah kepada Conor. Dan sebagai balasannya, Conor harus menceritakan kisah ke-4 kepada sang monster, yang tak lain adalah mimpi buruk Conor yang selama ini dialaminya. Perjanjian sudah dibuat dan petualangan Conor pun dimulai.
Saya tidak akan membandingkan versi film dengan versi novel, karena saya memang belum membaca novelnya. Tapi sebagai penonton yang bermodalkan asas kepasrahan dan minim ekspektasi, saya berhasil dibuat jatuh cinta dengan semua elemen yang ada dalam film berdurasi 100 menit ini.
Iya, A Monster Calls sudah gelap sejak awal. Karakter Conor, bocah introvert yang penakut, sering di-bully di sekolah oleh temannya juga sering dimarahi guru, membuat saya iba kepada sosoknya. Belum lagi hubungannya yang tidak akur dengan sang nenek, yang punya sifat amat bertolak belakang dengan Conor. Sementara ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya, hanya datang sesekali untuk mengunjungi Conor. Well, lengkap sudah hidupmu Conor.
Dan kesuraman-kesuraman yang saya sebutkan di atas berhasil dikawinkan dengan visual yang amat ‘cantik’ dari sosok sang monster (yang mengingatkan saya akan groot di film The Guardian of Galaxi haha). Momen di mana monster yew muncul di halaman pekuburan tak jauh dari rumah Conor adalah adegan yang membuat saya tak berkedip penuh takjub. Akar dan rating yang perlahan keluar dari tanah, dentuman suara langkah kakinya, hingga ketika auaman Liam Neeson diperdengarkan untuk petama kali. It’s awesome, klo kata orang Bekesong.
Percayalah, itu belum seberapa ketika sang monster mulai mendongengkan 3 kisahnya kepada Conor. Animasi sequenses-nya itu loh, keren minta ampun! Mengingatkan saya akan animasi di film Krampus yang abstrak namun tetap mendetail. Kisah pangeran dan ratu, kisah tabib dan pendeta, juga kisah anak yang kasat mata, semuanya bisa saya nikmati dengan khusyuk tanpa sempat menyantap popcorn yang sudah saya beli.
Semetara Lewis MacDogall yang kecil-kecil cabe rawit itu, sukses mencuri hati saya sejak film dimulai. Aktingnya sebagai Conor, seorang bocah kesepian yang sangat mencintai ibunya dibawakannya dengan ekspresi yang pas. Juga tante Felicity Jones yang memerankan sosok Ibu penuh kasih bin pengertian pake banget terhadap anak lanang satu-satunya. Chemistry ibu-anak ini juara!