Mengangkat tema tentang pertemanan bocah dengan sesosok monster, tidak lantas menjadikan A Monster Calls sebagai drama fantasi yang tanpa isi. Bayona, sang sutradara, sanggup menyentil dan mengingatkan saya kembali bahwa saya pernah berada di posisi Conor. Ah, tidak... bahkan sampai sekarang pun saya masih memiliki tabiat seorang Conor O’Malley.
Ketika sang ibu selalu menyatakan kepada Conor bahwa dia baik-baik saja. Ketika nenek dan ayahnya tidak menghukum Conor walau dia berbuat salah. Ketika teman-temannya seakan mengasingkan Conor. Ketika monster yew memaksa Conor untuk jujur pada perasaannya sendiri dan mengungkapkan kebenaran yang selama ini dia tutup-tutupi. Semua kepingan amarah dan kesedihan itu berhasil disajikan dengan matang di sepanjang film dan diakhiri dengan sebuah perasaan haru dan penuh kehangatan.
A Monster Calls adalah kisah yang baik tentang proses pendewasaan yang seringkali berat bagi kebanyakan orang, termasuk saya. Meski begitu, film ini tidak terkesan menggurui dengan dialog-dialognya yang jujur. A Mosnter Calls hanyalah sebuah film yang manis dan sederhana, yang akan mengajak para penontonnya termenung begitu credit title muncul di akhir film.
A very nice tale to the end, Bayona!
“Tidak ada yang benar-benar baik dan tidak ada yang benar-benar jahat, Conor. Karena manusia lebih suka berada di kedua sisinya”
_______
Ps : Rating film ini PG 13 ya om dan tante. Jadi kalau mau bawa krucil yang unyu nan menggemaskan, kudu dipikir 10 x bolak-balik lapangan Camp Nou. Klo perlu intip trailernya di yucub dulu supaya lebih afdol dan barokah. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H