Mohon tunggu...
Hidayatullah S.Sos.
Hidayatullah S.Sos. Mohon Tunggu... -

Mencoba memahami kenyataan tanpa menghakimi keadaan, setiap kita punya potensi kebaikan betapapun sulit diwujudkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyambut Kepemimpinan Baru, Menjalankan Sekolah dengan Cita Rasa

25 Oktober 2014   03:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Hidayatullah (Guru dan Pemerhati Perubahan)

Cita rasa. Dua kata yang penting untuk dimaknai kembali dalam kehidupan kita terutama bagi dunia pendidikan. Sejak digagasnya tujuan pendidikan nasional dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turunannya dalam berbagai ketentuan dan peraturan pendidikan, saya sangat percaya bahwa bangsa kita tidak pernah hilang kesadaran tentang arti penting pendidikan.

Namun bila kita melihat berbagai persoalan bangsa, patut kita bertanya seberapa mampu dunia pendidikan mengambil peran strategisnya. Kesenjangan ekonomi, masalah buruh, kerusakan lingkungan, korupsi, pelanggaran hak azasi manusia, kekerasan seksual, konflik horizontal dan sebagainya, seolah meniadakan pekerjaan mulia bernama pendidikan. Cita rasa manusia Indonesia yang beriman, berilmu, berakhlaq, dan untaian kata serupa itu dalam rumusan visi dan misi di hampir semuasekolah seakan mati rasa. Sekolah hanyalah tempat singgah calon-calon penentu masa depan bangsa menghabiskan masa remajanya. Setelah itu mereka melanjutkan kehidupan baru, mengambil peran-peran sosial dan sering tidak tampak bekas-bekas bahwa mereka pernah bersekolah. Perlukah sekolah-sekolah kita mampu menginspirasi, mewarnai, dan menentukan wajah generasi mendatang? Tergantung apakah insan-insan pendidikan punya cita rasa atau justru mati rasa.

Pertanyaan tentang cita rasa pendidikan juga bisa kita gunakan untuk melihat bagaimana wajah pendidikan di tingkat Kabupaten. Tentu ukuran yang digunakan bukan hanya target yang telah ditetapkan oleh pemerintah tentang bagaimana sekolah memenuhi 8 Standar Pendidikan Nasional. Menurut amatan saya, secara administratif, proses akreditasi 8 standar pendidikan tidak terlalu sulit untuk dicapai. Sekolah seperti sebuah mesin dan proses akreditasi seperti sebuah pekerjaan untuk memantau kelayakan sebuah mesin. Jika banyak sekolah di level kabupaten mendapat nilai akreditasi “A”, artinya mesin pendidikan telah dinyatakan layak untuk menjalankan ketentuan pemerintah tentang pendidikan. Tetapi apakah kelayakan yang dimaksudkan memiliki dampak bagi perubahan sosial yang lebih baik di tingkat lokal?

Mungkin saja sekolah-sekolah kita sudah kehilangan rasa. Tidak memiliki kepekaan, kesadaran, bahkan tidak mengakui bahwa persoalan-persoalan lokal yang terjadi adalah bagian dari produk pendidikan yang kita jalankan. Masalah sosial itu terjadi karena mantan-mantan siswa kita, yang saat ini memegang peran sosial dalam masyarakat, kurang mampu menjalankan perannya dengan baik. Konflik pemanfaatan sumber daya alam, perambahan hutan, meningkatnya sampah plastik, kesenjangan ekonomi, konflik horizontal, money politic dalam PEMILU, lemahnya pemanfaatan potensi pertanian dan pariwisata, dan masalah ikutannya masih terus terjadi.

Seberapa jauh sekolah-sekolah mampu merefleksi persoalan masyarakat sekaligus mewarnai aktor-aktor yang berperan bagi perubahan lokal di masa yang akan datang?. Tema tentang membangun sekolah yang reflektif (baca: ber-cita rasa) ini menurut saya sangat penting untuk menggarisbawahi arah kepemimpinan baru dalam dunia pendidikan. Namun apakah sekolah mampu melakukan dinamika intelektual untuk sampai kepada perumusan visi dan misi sekolah yang “sebenarnya”. Rumusan yang benar-benar berangkat dari pemahaman para pendidik dan stake holder, mempengaruhi wajah kurikulum, mewarnai segenap aspek perilaku warga sekolah, dan memberikan ruh yang kuat bagi kehidupan kecil bernama budaya sekolah. Paparan ini begitu lekat dengan konteks lokal dimana saya tinggal dan bekerja, karena permintaan sebuah lembaga non pemerintah untuk menuliskannya ketika saya melamar sebagai volunteer. Betapapun kerdilnya, saya yakin rasa ini perlu untuk dibagi utamanya kepada rekan guru yang sering menjadi objek kejutan perubahan kebijakan pusat, tanpa sempat melakukan kontekstualisasi. Perubahan pendidikan bukan soal melayani keinginan ideal dan cita-cita besar pemerintah melainkan juga memberdayakan sekolah untuk membangun budaya reflektif. Mengukur seberapa besar pengaruh baik perubahan untuk menjawab persoalan-persoalan lokal. Menjalankan sekolah dengan cita rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun