Dangdut adalah budaya pop, sedang wayang dan tarian daerah adalah kesenian yang dulunya merakyat, tetapi kini menjadi tersisih. Dangdut menjadi atraksi ketika digunakan dalam keseharian, dimanfaatkan untuk merepresentasikan budaya masal. Wayang, dan tarian daerah dulunya adalah bagian dari ritual kehidupan rakyat. Tetapi kini dengan lunturnya ritual, maka wayang dan tarian daerah tidak lagi mampu menjadi atraksi. Kesenian ini digantikan oleh tayangan instan melalui televisi, film ataupun media lainnya.
Selain itu, saat ini kesenian banyak menjadi high art. Menjadi budaya yang harus diapreasiasi dan dilestarikan. Mengkonsumsi high art hanya sesuai untuk kalangan kelas tinggi di mana proses konsumsi kesenian hanya untuk kepentingan menciptakan citra bahwa mereka apresiatif terhadap produk kesenian. Masyarakat luas tidak lagi merasakan unsur hiburan dari produk kesenian itu sendiri. Pasarnya ada tetapi menjadi niche, karena tidak mewakili kebutuhan masyarakat luas.
Mengapa kesenian menjadi sesuatu yang adi luhung dan hanya bisa dilestarikan tetapi tidak bisa dinikmati oleh rakyat banyak? Mengapa budaya pop seperti film dan musik bisa dinikmati oleh khalayak banyak tanpa harus dilestarikan?
Budaya pop lahir karena mampu merepresentasi semangat zaman. Sedang kesenian merupakan potret atas satu momen di zaman tertentu. Mereka menjadi usang karena tidak lagi mampu merepresentasikan zaman yang berbeda. Atau demikian adi luhungnya kesenian itu dan mereka menolak untuk berubah wujud untuk menjadi bisa dinikmati tanpa harus dilestarikan.
Memahami Kepentingan Pasar
Di dalam ilmu pemasaran, kita mengenal bahwa suatu produk perlu memiliki kanal distribusi untuk mencapai pasarnya. Sebagai contoh, melalui kanal televisi, jumlah banyaknya orang yang bisa menikmati program di situ jauh melebihi dari bioskop. Televisi memiliki model bisnis pendapatan dari iklan. Film memiliki model bisnis dari tiket. TV kabel memiliki model bisnis dari berlangganan. Pemirsa televisi dan penonton film menyukai konten yang relevan dengan mereka. Konten ini tersedia untuk mereka dan melalui jalur distribusi yang mampu menyediakan kebutuhan akan hiburan di mana pelanggan berada.
Semuanya memiliki kepentingan bisnis untuk mendukung ekosistem distribusi ini. Mulai dari pemilik brand yang ingin memperkenalkan produknya melalui media televisi dan film, hingga kreator konten dan pemilik media.
Ketika kita berbicara kesenian, bagaimana jalur distribusinya? Apakah kesenian ini diminati oleh masyarakat sehingga banyak pendukung kepentingan yang mau mengasosiasikan produknya dengan mendukung kesenian? Jika jawabnya tidak, tentu hal ini menjadi problem dari produk kesenian itu sendiri. Tanpa kemampuan menjadi daya tarik bagi pasar, tentu tidak ada produk ataupun media yang bersedia menjadi jalur distribusinya.
Jadi jika kita ingin membuat kesenian menjadi relevan, kita perlu mulai dari distribusi dari produk kesenian untuk memiliki kepentingan komersial. Kita perlu menjawab apakah media televisi, film ataupun mobile memiliki kepentingan untuk menampilkan produk kesenian itu.
Olah raga perlu berubah bentuk untuk mengikuti pola distribusi dan jam tayang televisi seperti halnya bulutangkis sehingga lebih menarik bagi pemirsa, pemiliki media dan pada akhirnya pemilik brand. Musik perlu berubah bentuk menjadi nada sambung pribadi yang tentunya sangat berbeda dengan musik yang diperdengarkan melalui radio ataupun yang ditonton melalui televisi sebagai klip video. Olah raga dan budaya pop tidak memiliki beban berat untuk tidak boleh berubah karena mereka tidak diberikan label sebagai kesenian adi luhung.
Menciptakan Ritual Baru
Jika kembali kepada hakekat relevansi, maka meskipun kesenian tidak lagi menjadi relevan, bisa saja para pelaku dari kesenian yang menjadi relevan. Konser musik dan pementasan seni di sekolah-sekolah adalah buktinya. Para penonton tidak datang karena pertunjukan seninya, mereka datang karena pelaku kesenian adalah bagian dari keluarganya. Jadi salah satu metode pelestarian kesenian adalah menjadikannya bagian dari ritual pendidikan.