Alhasil, workshop animasi Blender padat diikuti peserta meskipun bermodal laptop yang harus dibawa sendiri. Ini adalah usaha kemandirian yang patut dihargai.
GCOS: Sebuah Komitmen dan Dedikasi
Global Conference on Open Source yang digelar 26-27 Oktober lalu, mendapat apresiasi lar biasa dengan mendatangkan tamu dan pembicara dari 15 negara. Sunil Abraham misalnya, pembicara pada asal India untuk sesi Making Open Source The Driver for Development, merasa terkesan dengan sambutan masyarakat dan pemerintah Indonesia yang luar biasa, bahkan telah terbentuk komunitas open source di Indonesia yang cukup besar sehingga dapat menyelenggarakan GCOS. Sunil, juga bangga dapat berbicara di forum internasional bersama pembicara lain yang menurutnya seperti berbicara di India, karena disini juga berhadapan dengan problem dan karakteristik masyarakat yang hampir sama, butuh software murah untuk saving cost.
Kabar baik dari buah obrolan dengan Betti Alisjahbana mewakili AOSI [Asosisi Open Source Indonesia] dan Lolly Amalia selaku Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo, selain kedua belah pihak telah saling bertemu visi dengan melaksanakan GCOS secara bersama-sama, di antara kedua pihak telah ada kesepakatan saling membantu aplikasi Open Source di seluruh Indonesia. Untuk mengatasi kendala profesionalitas AOSI dalam memberikan layanan sebagaimana tuntutan kebutuhan saat ini, Betti bahkan sedang dalam proses mengorganisir kekuatan-kekuatan di dalam AOSI untuk bernaung di dalam sebuah payung badan usaha profesional.
Onno W Purbo, penggiat open source, meyakini free open source software [FOSS] akan menjadikan Indonesia sebagai 'Knowledge Based Society'. Dan dari pihak pemerintah, telah dicontohkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi (KNRT) dalam penerapan eGovernment secara menyeluruh dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien untuk meminimalisir korupsi di lingkungan departemen dan pemerintahan.
Dalam bincang-bincang dengan Ditjen Aplikasi dan Telematika Depkominfo Ashwin Sasongko, ia mengandaikan Free Open Source Software seperti air mineral yang bisa diambil gratis dari pegunungan, tapi distribusi dan pengemasannya harus bayar.
Betti Alisjahbana berujar “Saya ingin memperkenalkan profesionalisme di dalam open source,” yang artinya menjadikan Open Source menjadi berkesinambungan. Perangkat lunak bisa gratis, tetapi proses support dan pembelajarannya haruslah dikelola secara profesional dan akan menjadi revenue stream bagi pelakunya.
Open Source adalah Pilihan untuk Kemandirian
Open Source adalah sebuah pilihan, demikian menurut Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo Lolly Amalia. Dan kepentingan pemerintah adalah memfasilitasi, mendorong pemakaian software legal yang sesuai kemampuan daya beli masyarakat. Pasca surat edaran Menpan bulan maret 2009 lalu, sudah ada sekitar 100 lebih pemerintah daerah yang mengajukan permohonan untuk menggunakan open source dan Depkominfo Bersama KNRT [Kementerian Negara Riset dan Teknologi] mengadakan pelatihan SDM mulai dari mengoperasikan software untuk perkantoran, sesuai kebutuhan administratif pemerintahan.
Apa yang dilakukan dalam sinergi Depkominfo, KNRT, Depdiknas, Menpan adalah sebuah komitmen, bahkan tertuang dalam program di mana pada Desember 2011 ditargetkan pengaplikasian open source di seluruh jajaran instansi dapat terwujud.
Keinginan pemerintah tersebut bukan pula tanpa dasar, dengan isu utama dalam open source adalah low cost, mencegah terjadinya pembajakan software, dan mampu memberikan keuntungan bagi Negara. KNRT misalnya yang secara bertahap mengaplikasikan open source sejak 2005, telah menghemat biaya pembelian lisensi sebesar 40% dan bisa ditingkatkan menjadi 60%.
Tak hanya menjawab kebutuhan kalangan UKM yang ingin berhemat memangkas biaya operasional namun tetap berada pada jalur legal, ternyata juga memberikan kontribusi penghematan anggaran bagi pemerintah Negara berkembang seperti Indonesia karena memberikan pilihan atas hegemoni perusahaan software.