Tulisan ini tidak disusun dari sudut pandang organisasi yang menganut Marhaenisme, melainkan dari perspektif penulis  sebagai seorang pembaca buku dan pengagum marhaenisme soekarno, tulisan ini ditujukan untuk menganalisis relevansi Marhaenisme dalam konteks kontemporer. Dalam lanskap pembangunan yang didominasi oleh proyek raksasa seperti reklamasi pesisir di Tanjung Pasir, Tangerang, terlihat ketimpangan sosial yang menjadi refleksi nyata dari perjuangan kaum kecil---yang oleh Sukarno disebut sebagai "Marhaen"---melawan dominasi modal besar. Konflik yang melibatkan nelayan tradisional seperti Pak Kholid dengan konglomerasi besar seperti Agung Sedayu Group menggambarkan bagaimana akses terhadap sumber daya publik semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Marhaenisme, sebagai ideologi yang lahir dari pergulatan Sukarno melawan kolonialisme dan kapitalisme, memposisikan dirinya sebagai perlawanan terhadap dominasi alat produksi oleh kekuatan kapital. Seperti yang dipaparkan dalam Kuswono (2016), Marhaenisme adalah ideologi perlawanan yang tetap relevan, terutama dalam menghadapi penguasaan sumber daya yang tidak adil.
Fenomena di pesisir Tangerang memperlihatkan bagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) diterbitkan untuk wilayah pesisir yang seharusnya menjadi milik publik. Reklamasi yang dilakukan tidak hanya membatasi akses nelayan ke sumber penghidupan mereka tetapi juga mencerminkan fenomena yang oleh Sukarno digambarkan sebagai imperialisme modern. Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer, yang didirikan di kawasan pesisir Tanjung Pasir, menjadi simbol eksplisit dari privatisasi ruang publik. Konglomerasi besar memanfaatkan celah hukum dengan dalih tanah musnah akibat abrasi untuk mereklamasi wilayah tersebut, mengklaimnya sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Berdasarkan citra satelit yang dianalisis sejak tahun 1980-an, garis pantai di wilayah ini tidak menunjukkan perubahan signifikan. Klaim adanya "tanah musnah" menjadi argumen manipulatif yang digunakan untuk memperluas kepemilikan korporasi atas wilayah yang sebenarnya merupakan domain publik.
Proses ini menunjukkan bagaimana hukum dapat dimobilisasi untuk melayani kepentingan modal besar. Walhi mencatat bahwa dalih pembangunan yang digunakan untuk melegitimasi proyek reklamasi sering kali mengorbankan masyarakat kecil. Nelayan seperti Pak Kholid, yang seharusnya menjadi penjaga ekosistem pesisir, kini kehilangan akses terhadap laut yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, pembangunan pagar laut tersebut ilegal karena tidak memiliki izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL). Namun, meskipun sudah diidentifikasi sebagai pelanggaran hukum, tindakan tegas terhadap pelaku utama di balik proyek ini masih belum terlihat. Akibatnya, para nelayan harus menanggung kerugian finansial yang diperkirakan mencapai Rp8 miliar karena terganggunya aktivitas melaut.
Marhaenisme mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai ketika rakyat mampu mengolah dan menikmati hasil kerja mereka sendiri tanpa dominasi kekuatan kapital. Dalam konteks modern, relevansi ideologi ini menjadi semakin signifikan. Pak Kholid dan nelayan tradisional lainnya adalah perwujudan kaum Marhaen yang harus berjuang mempertahankan akses terhadap sumber daya alam mereka dari cengkeraman kapitalisme korporasi. Perjuangan ini tidak hanya memerlukan keberanian tetapi juga konsolidasi ideologi yang kuat, sebagaimana yang ditekankan oleh Sukarno. Dominasi kapital yang didukung oleh kekuatan politik dan hukum telah menciptakan hambatan besar bagi perjuangan rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan sosial.
Kasus Pak Kholid melawan PIK 2 adalah pengingat nyata bahwa perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan lingkungan masih sangat relevan hingga hari ini. Di tengah janji-janji pertumbuhan ekonomi melalui proyek reklamasi, rakyat kecil terus menjadi korban utama dari proses marginalisasi. Marhaenisme, dalam hal ini, bukan hanya sekadar ideologi tetapi sebuah panggilan moral untuk menantang struktur kapitalisme yang terus-menerus meminggirkan kaum kecil.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI