Di era ini, kita hidup di tengah arus informasi yang melimpah. Segala sesuatu dapat ditemukan hanya dengan mengetik beberapa kata di mesin pencari. Namun ironisnya, revolusi informasi yang seharusnya memajukan masyarakat justru telah menjerumuskan kita ke dalam kebingungan yang semakin mendalam. Internet, yang awalnya dianggap sebagai jembatan menuju pencerahan, kini menjadi rawa bagi orang-orang yang terperangkap dalam kebodohan terselubung oleh kesombongan.
Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death Of Expertise atau dalam bahasa indonesia berarti matinya kepakaran mengungkapkan kenyataan pahit ini dengan tepat: "Akses ke internet sebenarnya bisa membuat orang lebih bodoh daripada jika mereka sama sekali tidak mendalami suatu topik." Internet tidak hanya memberikan akses informasi tetapi juga ilusi pemahaman. Orang-orang percaya bahwa mereka telah belajar sesuatu hanya karena mereka melihat kata-kata di layar. Padahal, kemampuan untuk menemukan data tidak sama dengan memahami fakta, dan membaca sepintas tidak bisa menggantikan pemahaman yang mendalam. Dalam dunia di mana segala hal berlomba untuk mendapatkan perhatian, banyak yang tidak lagi bisa membedakan antara apa yang mereka tahu dan apa yang sekadar pernah melintas di depan mata mereka.
Revolusi informasi tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga membunuh otoritas para ahli. Di tengah banjir data yang tidak terkendali, keahlian telah direndahkan menjadi sekadar "opini lain." Semua orang merasa memiliki hak yang sama untuk didengarkan, terlepas dari validitas argumen atau bukti yang mendukungnya. Seorang ilmuwan dengan puluhan tahun pengalaman kini memiliki suara yang sama kerasnya dengan seorang komentator anonim di media sosial. Ketika narasi-narasi dangkal lebih mudah dicerna daripada fakta yang rumit, masyarakat lebih sering memilih jalan pintas.
Lebih parah lagi, penolakan terhadap kepakaran kini disertai dengan amarah dan keangkuhan. Nichols mencatat bahwa ini bukan lagi tentang skeptisisme yang sehat, tetapi narsisme: sebuah keinginan untuk menolak fakta demi memperkuat ilusi superioritas diri. Teori konspirasi menjadi semakin menarik, karena menawarkan jawaban instan dan dramatis untuk dunia yang kompleks. Ketika seseorang menolak ilmu, itu sering kali bukan karena fakta tidak cukup jelas, tetapi karena mereka tidak mau menerima kenyataan bahwa penjelasan yang benar bisa jadi membosankan atau tidak sesuai dengan bias mereka.
Krisis ini berdampak nyata. Dalam konteks pandemi, misalnya, ketidakpercayaan terhadap vaksin---yang didukung oleh penolakan terhadap sains---menyebabkan jutaan nyawa terancam. Dalam isu perubahan iklim, pengabaian data ilmiah memperburuk kondisi lingkungan. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada ilmu, konsekuensinya bukan sekadar kebingungan, tetapi juga kehancuran.
Namun, akar dari semua ini sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Kita terlalu malas untuk memverifikasi informasi, terlalu cepat untuk percaya pada sesuatu yang sejalan dengan keyakinan kita, dan terlalu sombong untuk mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya. Internet telah memberi kita alat yang luar biasa, tetapi kita menyalahgunakannya untuk memupuk kebodohan kita sendiri.
Tom Nichols memperingatkan bahwa melihat kata-kata di layar tidak sama dengan membacanya, apalagi memahaminya. Di tengah krisis ini, kita harus kembali memupuk kerendahan hati intelektual---kesadaran bahwa belajar adalah proses yang sulit dan bahwa keahlian seseorang layak dihormati, bukan dihancurkan. Sebab, jika tidak, kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan kebodohan, sebuah tragedi di tengah era yang seharusnya menjadi puncak pencerahan manusia.
Akhir kata: "Kebenaran tidak membutuhkan keyakinan kita untuk tetap benar, tetapi masyarakat yang menolaknya hanya akan berjalan menuju kehancuran."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H